Dunia
tak ubahnya memenjarakan kerakusan. Sudah belasan tahun dendam belum juga
membusuk dan mati. Bahkan sudah beranak cucu. Untunglah ayah selalu
mengajarkanku bijak. Lalu adakah manusia yang lepas dari luput?
Ah,
ayahku sayang telah renta. Rambutnya putih hampir seluruhnya. Keriput sudah
wajah dan jemarinya. Ini aku yang tak lagi kanak, ayah. Pulang dengan seribu
jawaban yang akhirnya waktu menuntunku padanya.
“Bagaimana
keadaan masjid, Ayah?”
“Begitulah, Nak. Masih ada dendam di antara mereka. Dusun kita masih dua kubu. Padahal
sudah berapa kali ganti pemerintah.”
Tahta
dusun berakhir tragedi di sini. Selalu ada dendam. Bahkan masjid pun jadi medan
tikam.
“Tugasmu,
menyatukannya kembali, Nak.”
*
Aku
pernah hidup dalam banyak tanya menggelantung di kepala. Mengapa aku kecil tak
pernah dijawab tanyanya? Semua jawab hanya berupa tindakan yang tak benar-benar
mewakili ihwal pertanyaanku. Mungkin terlampau kanak untuk aku paham apa yang
sedang terjadi di dusunku kala itu. Perihal kutanya mengapa aku harus diantar
dan dijemput ayah pergi dan pulang sekolah, sementara sekolah hanya berjarak
sekian meter dari rumah. Tak boleh kulewati pagar sekolah sebelum ayah datang.
Pesan yang ayah tahu tak akan ada berontak keluar dari mulutku. Perihal mengapa
ayah harus kemana-mana dengan parang bermata tipis, sekalipun tak lebih dari mengantarkanku
ke sekolah.
Aku
hidup dalam tanya. Pernah sekali kulafalkan tanyaku pada ayah, tapi ayah hanya
diam. Dengarlah, ayahku tak kekar seperti prajurit, tapi kokoh melindungiku
yang semata wayang. Ayah, binar matanya yang selalu membuatku bisu. Tanya yang
kulafalkan jika dijawab dengan senyum dan binar matanya, kurasa itu jawaban
terbaik untuk membuat titik yang seharusnya masih koma. Aku bisu dari tanya
setelahnya. Tapi tidak benar-benar bisu.
Masih
aku kanak menabung tanya dalam hati perihal mengapa aku tak boleh keluar bermain
kelereng dengan teman-temanku.
“Dusun
kita sedang sakit, Nak. Kita bisa saling tikam, penyakit orang akan tahta
membuatnya lupa daratan.” Begitu ayah pernah berbisik mendiamkanku, persis saat
kudengar tepat di depan rumah sedang terjadi keributan-masih entah keributan
apa. Aku mengencangkan pelukan di leher ayah. Aku kanak mendekam takut dalam
pelukannya. “Kau tak perlu takut, Nak. Kita dilindungi Allah. Kelak jika besar
nanti, jangan gila tahta dunia. Ia sungguh menyengsarakan.”
Aku
damai di pelukan ayah. Bijak sekali ia menyulam kekata, meski tak utuh aku
paham maksudnya. Ibu yang pula aku tahu terpuruk dalam ketakutan, berusaha
tenang menghitung satu persatu tasbihnya.
Dusunku
sedang menyalah-nyalah apinya. Bagaimana aku menceritakan perihal yang terjadi
sedang akupun tak paham. Api tahta kata ayah. Selalu saja hanya kata ayah yang
bisa kupastikan. “Berhati-hatilah, Nak. Dalam setiap senyap, ada mata yang
kadang tak kau lihat batang tubuhnya.”
Aku
serah pada tanya.
*
Kini
aku paham mengapa ayah pernah dihunuskan sebilah parang panjang oleh Daeng Marewa. Demi meminta mundur ayah. Ini
tentang tragedi pemilihan kepala dusun yang berakhir malang. Iya, kepala dusun
saja. Tak habis pikir aku dibuatnya. Ayah adalah salah satu kandidat yang
diusung warga. Lalu ada satu kandidat lagi, yang orang menyebutnya Daeng Marewa. Rewa disematkan
warga bagi orang-orang yang tak kenal takut, salah ataupun benar ia. Dialah
sebab tragedi hitam di kampungku.
Yang
kutahu, ayah tak akan gentar jika merasa tak pernah berbuat salah.
Tak
berakhir sampai disana rupanya, pada masanya, ayah, paman, dan tetangga harus
ke dusun seberang jika ingin shalat berjamaah di masjid. Shalat jumat
sekalipun. Sebab masa nyalah api di dusunku menjadikan Daeng Marewa dan sanaknya yang rakus memalangkan kayu pada pagar
masjid bagi kami kubu atas. Murka apa yang akan mereka dapat telah melarang
orang untuk beribadah di masjid. Astagfirullah.
Sebab
tragedi itu, di dusunku sudah berdiri dua masjid-yang berpemilik jamaah
masing-masing. Masjid masih seperti dimiliki sekelumit orang. Rakus akan dunia,
yang pada akhirnya memenjarakannya jua dalam sengsara hati.
Kepala
dusun yang terpilih di zaman ayah, sudah pasti bisa kau tebak siapa yang
seharusnya dan siapa pada kenyataannya. Barang pasti ayah menang. Kertas pemilih
menjadi saksi. Lalu sebab yang lagi dibuat-buat beberapa hari setelah pemilihan
menjadikan daeng marewa pemenangnya.
Sebab tahta sebelum tahta. Sanak daeng
marewa sudah menduduki jabatan di desa. Juga beberapa yang adalah tokoh
masyarakat
Ayah
tak pernah rakus. Rela ia melepas haknya. Ia tak ingin tahta dusun menjadikan
kampungnya bersejarah pertumpahan darah. Tak mustahil itu bisa terjadi. Entah
apa yang dikejar Marewa dengan menjadi kepala dusun. Lalu ayah? Jika bukan
karena warga, ayah sudah melepas pertikaian ini sejak dahulu.
Tragedi
yang berujung pada masjid yang dimiliki sendiri-sendiri. Ah, miris sekali
perangai orang sekampungku. Kurasa beginilah cara mereka mendirikan siri’. Segala jadi halal.
*
Tak selamanya kekata bijak berakhir
bijak, ayah. Kupintal satu luka masa kanakku, meski tak kutau duduk perkara di
masa lalu. Ayah berluka hampir bermandi darah. Sebab darahku berasal darahmu,
maka lukamu akupun merasai.
Waktu
merajut benang dendam yang kadang aku lupa menyelesaikan rajutannya. Sampailah
kini aku pada kuasaku. Aku berkedudukan sekarang. Orang rakus seperti Daeng
Marewa akan luluh dengan godaan limpahan emas. Bukan maksud merawat dendam,
Marewa butuh untuk merasai luka.
Nak, jangan biarkan tahta merajai
hidupmu. Kala mati, tubuh hanya dibungkus kafan.
Ah,
ayah. Mengapa aku tak sebijak kau.
Bagus sekali, kak :)) Ciye, yang galaunya prduktif :p
BalasHapusTak rewa lagi deh Kak :)
BalasHapusIni baru galau berkualitas, dek.. :p
BalasHapusTpi ngomong2, galau nda galau, tetap harus produktif dong.. :)
bagus kak... aliran-aliranku ini haha :D tapi ada beberapa yg harus diperbaiki hehe *Batara
BalasHapusCeki : begitulah, nak.
BalasHapusBata : Apa saja mereka,wahai suhu? hahaaa