Senin, 20 Januari 2014

Tragedi Dusunku

Dunia tak ubahnya memenjarakan kerakusan. Sudah belasan tahun dendam belum juga membusuk dan mati. Bahkan sudah beranak cucu. Untunglah ayah selalu mengajarkanku bijak. Lalu adakah manusia yang lepas dari luput?
Ah, ayahku sayang telah renta. Rambutnya putih hampir seluruhnya. Keriput sudah wajah dan jemarinya. Ini aku yang tak lagi kanak, ayah. Pulang dengan seribu jawaban yang akhirnya waktu menuntunku padanya.
“Bagaimana keadaan masjid, Ayah?”
“Begitulah, Nak. Masih ada dendam di antara mereka. Dusun kita masih dua kubu. Padahal sudah berapa kali ganti pemerintah.”
Tahta dusun berakhir tragedi di sini. Selalu ada dendam. Bahkan masjid pun jadi medan tikam.
“Tugasmu, menyatukannya kembali, Nak.”
*

Aku pernah hidup dalam banyak tanya menggelantung di kepala. Mengapa aku kecil tak pernah dijawab tanyanya? Semua jawab hanya berupa tindakan yang tak benar-benar mewakili ihwal pertanyaanku. Mungkin terlampau kanak untuk aku paham apa yang sedang terjadi di dusunku kala itu. Perihal kutanya mengapa aku harus diantar dan dijemput ayah pergi dan pulang sekolah, sementara sekolah hanya berjarak sekian meter dari rumah. Tak boleh kulewati pagar sekolah sebelum ayah datang. Pesan yang ayah tahu tak akan ada berontak keluar dari mulutku. Perihal mengapa ayah harus kemana-mana dengan parang bermata tipis, sekalipun tak lebih dari mengantarkanku ke sekolah.
Aku hidup dalam tanya. Pernah sekali kulafalkan tanyaku pada ayah, tapi ayah hanya diam. Dengarlah, ayahku tak kekar seperti prajurit, tapi kokoh melindungiku yang semata wayang. Ayah, binar matanya yang selalu membuatku bisu. Tanya yang kulafalkan jika dijawab dengan senyum dan binar matanya, kurasa itu jawaban terbaik untuk membuat titik yang seharusnya masih koma. Aku bisu dari tanya setelahnya. Tapi tidak benar-benar bisu.
Masih aku kanak menabung tanya dalam hati perihal mengapa aku tak boleh keluar bermain kelereng dengan teman-temanku.
“Dusun kita sedang sakit, Nak. Kita bisa saling tikam, penyakit orang akan tahta membuatnya lupa daratan.” Begitu ayah pernah berbisik mendiamkanku, persis saat kudengar tepat di depan rumah sedang terjadi keributan-masih entah keributan apa. Aku mengencangkan pelukan di leher ayah. Aku kanak mendekam takut dalam pelukannya. “Kau tak perlu takut, Nak. Kita dilindungi Allah. Kelak jika besar nanti, jangan gila tahta dunia. Ia sungguh menyengsarakan.”
Aku damai di pelukan ayah. Bijak sekali ia menyulam kekata, meski tak utuh aku paham maksudnya. Ibu yang pula aku tahu terpuruk dalam ketakutan, berusaha tenang menghitung satu persatu tasbihnya.
Dusunku sedang menyalah-nyalah apinya. Bagaimana aku menceritakan perihal yang terjadi sedang akupun tak paham. Api tahta kata ayah. Selalu saja hanya kata ayah yang bisa kupastikan. “Berhati-hatilah, Nak. Dalam setiap senyap, ada mata yang kadang tak  kau lihat batang tubuhnya.”
Aku serah pada tanya.
*
Kini aku paham mengapa ayah pernah dihunuskan sebilah parang panjang oleh Daeng Marewa. Demi meminta mundur ayah. Ini tentang tragedi pemilihan kepala dusun yang berakhir malang. Iya, kepala dusun saja. Tak habis pikir aku dibuatnya. Ayah adalah salah satu kandidat yang diusung warga. Lalu ada satu kandidat lagi, yang orang menyebutnya Daeng Marewa. Rewa disematkan warga bagi orang-orang yang tak kenal takut, salah ataupun benar ia. Dialah sebab tragedi hitam di kampungku.
Yang kutahu, ayah tak akan gentar jika merasa tak pernah berbuat salah.
Tak berakhir sampai disana rupanya, pada masanya, ayah, paman, dan tetangga harus ke dusun seberang jika ingin shalat berjamaah di masjid. Shalat jumat sekalipun. Sebab masa nyalah api di dusunku menjadikan Daeng Marewa dan sanaknya yang rakus memalangkan kayu pada pagar masjid bagi kami kubu atas. Murka apa yang akan mereka dapat telah melarang orang untuk beribadah di masjid. Astagfirullah.
Sebab tragedi itu, di dusunku sudah berdiri dua masjid-yang berpemilik jamaah masing-masing. Masjid masih seperti dimiliki sekelumit orang. Rakus akan dunia, yang pada akhirnya memenjarakannya jua dalam sengsara hati.
Kepala dusun yang terpilih di zaman ayah, sudah pasti bisa kau tebak siapa yang seharusnya dan siapa pada kenyataannya. Barang pasti ayah menang. Kertas pemilih menjadi saksi. Lalu sebab yang lagi dibuat-buat beberapa hari setelah pemilihan menjadikan daeng marewa pemenangnya. Sebab tahta sebelum tahta. Sanak daeng marewa sudah menduduki jabatan di desa. Juga beberapa yang adalah tokoh masyarakat
Ayah tak pernah rakus. Rela ia melepas haknya. Ia tak ingin tahta dusun menjadikan kampungnya bersejarah pertumpahan darah. Tak mustahil itu bisa terjadi. Entah apa yang dikejar Marewa dengan menjadi kepala dusun. Lalu ayah? Jika bukan karena warga, ayah sudah melepas pertikaian ini sejak dahulu.
Tragedi yang berujung pada masjid yang dimiliki sendiri-sendiri. Ah, miris sekali perangai orang sekampungku. Kurasa beginilah cara mereka mendirikan siri’. Segala jadi halal.
*
Tak selamanya kekata bijak berakhir bijak, ayah. Kupintal satu luka masa kanakku, meski tak kutau duduk perkara di masa lalu. Ayah berluka hampir bermandi darah. Sebab darahku berasal darahmu, maka lukamu akupun merasai.
Waktu merajut benang dendam yang kadang aku lupa menyelesaikan rajutannya. Sampailah kini aku pada kuasaku. Aku berkedudukan sekarang. Orang rakus seperti Daeng Marewa akan luluh dengan godaan limpahan emas. Bukan maksud merawat dendam, Marewa butuh untuk merasai luka.
Nak, jangan biarkan tahta merajai hidupmu.  Kala mati, tubuh hanya dibungkus kafan.
Ah, ayah. Mengapa aku tak sebijak kau. 

5 komentar:

  1. Bagus sekali, kak :)) Ciye, yang galaunya prduktif :p

    BalasHapus
  2. Ini baru galau berkualitas, dek.. :p
    Tpi ngomong2, galau nda galau, tetap harus produktif dong.. :)

    BalasHapus
  3. bagus kak... aliran-aliranku ini haha :D tapi ada beberapa yg harus diperbaiki hehe *Batara

    BalasHapus
  4. Ceki : begitulah, nak.

    Bata : Apa saja mereka,wahai suhu? hahaaa

    BalasHapus