Masih juga aku berusaha melawan ronta seisi perut yang meminta ditumpahkan. Untung saja pertahananku masih kokoh. Lika liku jalan memang tak ada habisnya. Kuingatkan, jangan mengimpikannya di sini. Ingin memejamkan mata, sayang jika melewatkan landscape di sepanjang mata memandang.
Destinasi selanjutnya adalah Batu Tumonga.Sepanjang perjalanan, tak henti mataku terpukau pesona hijau alam Toraja. sedikit demi sedikit perjalanan semakin menanjak. Sepertinya mobil sedang mengejar puncak. Hamparan hijau berpematang, berbungkus rapi dengan keelokan subur oryza.
Tak jarang kudapati bebatuan besar di sisi jalan. Pun di tengah sawah. Atau bahkan pada gundukan yang membentuk rupanya sendiri. Batu hitam, yang lalu berpintu. Unik. Seperti sedang menyaksikan film yang entah. Bantu berpintu yang di kanan kirinya masih ada rangkaian bunga duka. Itu kuburan rupanya. Tak habis pikir aku dibuatnya. Melubangi batu untuk menyimpan mayat, itu mereka sebut kuburan.
Rombongan berhenti pada sisi jalan tepat bersejajar dengan awan. Inilah landscape Batu Tumonga yang banyak orang mengidamkan berfoto padanya. Lekat kusaksikan kabut tak jauh dari tempatku berdiri. Lalu di sana, awan melambaikan tangannya, mengajakku bergurau. Imaji menari padanya. Selalu, aku mendambakan berfoto dengannya.
Tak lama mengabadikan gambar berlatar awan dan kabut, gerimis turun satu persatu hampir bersamaan gerak menjauh kabut. kami enyah, melanjutkan perjalanan menuju puncak-mungkin.
Lalu kami tiba di negeri Kabut.
(fotonya nyusul)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar