Sabtu, 15 Februari 2014

Surat-Selepas Kelud Murka

Waktu itu, hari masih hitam. Tak perlu mengintip di balik tirai pun, aku sudah tahu. Bayang-bayang gelap menelusup di cela-cela pintu dan lantai kamar yang tak persis bersinggungan membisik kabar bahwa hari masih dini. Lepas subuh, kuhidupkan laptop dan berselancar di dunia maya. Di beberapa situs berita kutemukan kabar Kelud meletus. Ah cobaan lagi untuk belahan bumiku. 

Apa kabar napas si mungil? Adakah nyawa yang tak sempat mengucap selamat tinggal pada sanak keluarga di kejauhan? Tabahlah saudaraku, bukankah Allah sudah mengingatkan :

"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan,"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un." Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk".
[al Baqarah/2:155-157]

Lalu pagi ini, kubuka kembali beberapa situs berita. Katanya Jogja pun sudah kena abu vulkanik Kelud, bahkan terbawa angin sampai ke Bandung. Apa kabar Pare, Kediri, Surabaya, Malang, dan Blitar kalau begitu? Semoga kalian baik-baik saja saudaraku, semoga terus dalam lindungan-Nya. Kalian dan juga saudara-saudara yang tak pernah kusua-i sebelumnya.

Selasa, 11 Februari 2014

Meneropong Tayangan Infotainment di Media

Andakah salah seorang penggila infotaiment? atau mungkin ibu anda? tante? om? bapak? adik? atau mungkin kakak anda? Apa yang sebenarnya Anda cari dari "pemberitaan" di infotainment. Ingin tahu gosip? update dan gaul? atau mungkin kepo saja, seperti kebanyakan anak gaul mengistilahkannya? 

Untunglah sejak dahulu kala saya tidak begitu kepo dengan urusan pribadi para artis. Lalu di suatu hari yang sudah lumayan lama, saya membaca sebuah buku karya prof andalan saya, Prof Deddy Mulyana, makinlah saya tidak melirik infotainment dengan tujuan semata-mata meng-kepoi artis. Oke, sekali lagi saya kurang kepo.Bagaimana dengan Anda? 

Prof Deddy pun membuat tulisan itu sebab pernah menonton infotainment pastinya, tapi bukan untuk meng-kepoi artis, tapi lebih kepada mengkritisi. Demi kemaslahatan ilmu pengetahuan. Halah. Saya tidak memaksa anda untuk menyetujui apa yang dikatakan prof. Deddy dan yang menjadi keyakinan saya pula.

Tak bisa dipungkiri bahwa infotainment yang populer disebut gosip itu adalah sebuah keniscayaan di setiap pijakan bumi. Namun adakah kita menyadari keberadaan infotainment di Indonesia kian membabibuta? Bahkan hampir tak kenal waktu. Bisa jadi hal ini disebabkan sifat budaya kita yang senang mengidolakan orang lain. Indonesia cenderung menganut budaya kolektivis. Dalam masyarakat kolektivis, Prof Deddy mengatakan diri (self) tidak bersifat unik atau otonom, melainkan lebur dalam kelompok (keluarga, klan, kelompok kerja, suku bangsa, dsb). Keberhasilan individu adalah keberhasilan kelompok, kegagalan individu pun kegagalan kelompok. 

Senin, 10 Februari 2014

Nenekku Sayang kembali Kanak

"Minumlah madu setiap hari, Nek. Madu itu obat segala macam penyakit."

Kubuka pembicaraan setelah sedari tadi nenek memandangiku lekat. Entah apa yang sedang berlalu lalang di imajinya melihat cucu perempuannya semakin dewasa. Sesekali nenek memejamkan matanya. Tapi kutahu ia tidak sedang mengantuk. Beranda rumah memang tempat yang nyaman untuk sekedar melepas kantuk. Terlebih siulan angin yang hilir mudik meninabobokkan tuannya. 

"Iya, tapi maduku sudah habis. Belakangan kepalaku sering sakit. Penglihatanku rasanya sedikit demi sedikit makin kabur. Lututku apalagi, ngilunya berlangganan tiap malam."

Ah, nenekku sudah benar-benar tua. Lama sekali rasanya aku tidak tidur dengannya. Sejak masuk SMA, aku tinggal di rumah tante yang letaknya lumayan dekat dari sekolah. Jarak rumah dengan sekolah bukanlah perjalanan pulang pergi seharian, makanya kuputuskan untuk tinggal di rumah tante di kota. Sejak itu, tante melarangku sering kembali ke rumah. Sekali sebulan saja ia mengizinkanku. Lalu sejak itu, aku tidak banyak berkabar dengan nenek. Terlebih berkenalan dengan dunia kampus, kembali ke kampung tidak lagi masuk dalam daftar keharusan. Saat liburanpun, kembali ke kampung seminggu itu  sudah sangat lama.

Sabtu, 08 Februari 2014

Lagi-lagi Senja

Tak perlu kujelaskan mengapa kau kusebut senja. 

Kutegaskan, aku bukan seorang pengagum rahasia seperti kebanyakan muda-mudi mengistilahkannya. Juga kau, kan? Tapi, mungkin kita pernah saling mengagumi. Iyakah? PD benar aku ini. Biarkan sajalah, sebab aku tahu kau tak mungkin membaca ini. Kau boleh mengistilahkan kata "mengagumi" itu sesuka hatimu. 

Tentu sejak lama kau sudah bisa menangkap pesan yang sama. Kau pastilah paham, sebab kau cukup pandai menjadi komunikan, namun tak begitu pandai menjadi komunikator. Kita sama. Aku pandai menangkap pesanmu. Atau mungkin kita terlalu pandai dalam urusan bertukar pesan? sampai tak diverbalkanpun, kita saling mafhum. Setelahnya, hanya diam.

Dan lagi, sebetulnya kita sudah lama sama-sama paham atas diam kita. Meski sebetulnya kau tahu aku bukan seorang pendiam. Kau pun. Lalu di suatu hari,  kau benar-benar mendiamkanku selayaknya aku sedang tersalahkan. Aku melakukan hal yang sama. Tak perlu khawatir, itulah yang seharusnya aku dan kau lakukan. Bagus, kau sudah melangkahkan sebelah kakimu. Dan bodohnya, kau tarik ulur sebelahnya lagi. Kalau begitu, tetaplah di sana sampai kau jenuh sendiri. 

Rabu, 05 Februari 2014

Kapan Sarjana, Isma?

Sebetulnya saya sudah agak bosan bercerita tentang skripsi, juga tentang status saya sebagai mahasiswa tingkat akhir. Saya pernah bersepakat dengan seseorang atau mungkin sesuatu yang entah siapa dan apa, biarkan semuanya mengalir saja. Kerjakan dan, tunggu saja sampai saatnya tiba. 

Namun ada hal yang ternyata tidak bisa saya hindari. Saya akan selalu berbicara tentang satu hal ini jika saya selalu diingatkan. Siapa yang kumaksud mengingatkan? Mungkin mereka. Mungkin juga kalian.
Pertanyaan yang sesungguhnya beraneka ragam namun intinya sama saja. KAPAN SARJANA?
Adakah sehari saja saya bisa terhindar dari pertanyaan ini? Belum lagi hasutan dari beberapa dosen. Meskipun bahasanya "dibercanda-bercandakan" namun saya yakin mereka bertanya dengan serius-niat sekali mereka mengusir saya dari kampus.
"Kapan maju seminar propoal, Isma?
"Kenapa belum memasukkan blangko judul, Pembimbing sudah habis ini. Atau kamu tahun depan saja?
"Lihat itu anu sudah maju, masa kamu belum?

Bunuh, saja saya, Pak. Kalau ada yang bisa menjamin setelah proposal, bajakannya film Tenggelamnya Kapal Vander Wijck sudah keluar, maka minggu depan pun saya disuruh proposal. Saya memang sedang digalaukan oleh satu hal ini.

Minggu, 02 Februari 2014

Pesan untuk Riy

Ada seorang teman. 
Malam ini aku terjebak dalam sebuah percakapan sederhana dengannya. Percakapan melalui layar dan keyboard laptop. Kau masih ingat teman yang memanggilku "Riy"? Dialah orangnya.

Dengarlah, Aku adalah salah satu di antara banyak orang yang teramat jarang mengaktifkan obrolan di Facebook. Seseorang yang terkadang membalas pesan teman setelah didiamkan beberapa hari dalam inbox, yang tentu saja sebelum akhirnya pesan itu berlumut. Pula seorang anak manusia yang tidak akan membalas pesan atau chatingan jika hanya bermaksud berbasa-basi ingin kenalan. Sungguh, itu lebih dari sangat basi.

Percakapan malam ini aku yang mengawali, tapi tak sebetulnya aku. Seperti yang kukatakan, ada pesan yang kadang sudah bertengger selama berhari-hari di inbox, namun baru saja kubalas. Tak lama setelah kukirim pesanku, balik iya berkirim pesan. Bercakaplah kami. Sekali lagi sederhana. Tentang buku yang ingin ia pinjam padaku, dan oleh-oleh dari kampung halamannya di Kalimantan sana. Aku tak memintanya, dialah yang menawarkan. Alhamdulillah.

Tentang hujan, ia masih ingat rupanya. 
Sudah kubilang, aku tak begitu menyukai hujan, percikannya yang berbaur tanah membuat kotor. Tapi aku suka menuliskannya. Lalu sebab beberapa tulisanku berbicara tentang rinai yang adalah hujan - sampai aku dipanggilnya Riy (sebab Rinai), maka mungkin ia mengingatku saat turun hujan dan saat melihat Judul buku ini 'Aku, kamu, dan Hujan'. Katanya waktu melihat buku itu, ia mau membelinya, namun sebab tak cukup uang, niat ia urungkan. Ah, mengingatku saja aku sudah berterima kasih, teman. 

Ia kemudian menutup pembicaraan dengan kalimat yang tidak kusangka,
"Tips biar inner beauty lebih mempesona ada baiknya berwudhu sebelum tidur.'

Aku tersenyum, tak ada seorang teman lelaki pun yang pernah mengingatkan akan perihal demikian padaku. Berani pula ia mengatakan ini - sementara yg kutau ia adalah seorang ikhwan. Atau apakah mungkin karena ia adalah seorang ikhwan maka ia mengingatkan saudari seimannya? Maka terima kasih yang amat banyak.