Minggu, 12 Januari 2014

Perjalanan ke Bumi Lakipadada #Part 1

7-12 Januari 2014.

Tiga rombongan lepas sudah dari hiruk pikuk kota. Menanggalkan aktivitas yang sekiranya sedikit banyak berperan melahirkan penat pada tuannya. Aku salah satunya, pergi sekedar untuk melepaskan penat, juga sebelum kembali diperhadapkan dengan benih-benih penat yang lain. Sepertinya akan menjadi keniscayaan lagi jika mengingat status sebagai "mahasiswa tingkat akhir". Juga untuk menggenapkan mimpiku berkeliling Sulawesi. 

Tepat pukul sebelas malam, kami bergegas meninggalkan kekaki mungil di koridor kampus. Sejak pagi semut-semut koridor sepertinya jemu memandangi wajah lusuh kami yang tak juga kunjung beringsut dari sana. Kabar yang dinanti sejak pagi tak lain hanya kabar keberangkatan. Seharusnya kami memang sudah memulai perjalanan sejak tanggal 6 kemarin, namun lagi-lagi, tidak ada sebaik-baik perencana kecuali yang di atas. Lalu langit malam semakin pekat, barulah kabar baik sampai pada tuan-tuannya. Beranjaklah kami ber-22 orang ke bumi Lakipadada.
**
Pagi membuka mata lebih dulu dariku. Aku memang lelap dan melewatkan banyak likuk jalan (setengah dari daerah Enrekang), yang mungkin jika terjaga akan berasa mual. Aku membalik pandang ke arah kanan jalan. Elok benar yang kulihat. Lekukan Gunung Nona rupanya, gunung yang katanya eksotis. Ini memang kali kedua aku ke Toraja, namun di perjalanan sebelumnya aku tak sempat menyaksikannya, sebab kantuk yang dipaksakan saat berhadapan dengan jalan berkelok-kelok.
untuk sementara, fotonya dari sumber yang lain dulu

Gunung Nona, tepat sekali, eksotis memang. Namun mitos menjadikannya erotis. Juga, sebab rupa yang membentuk lekukan bagian vital pada wanita. Itu sebab ia dinamakan gunung Nona. Sayang saja menurutku, anggapan-anggapan seperti itu kemudian berkembang di masyarakat, yang pada akhirnya menjerumuskan penyaksi pada pikiran-pikiran yang bisa saja lebih erotis untuk kalangan lawan jenis.

Setelah beberapa kutipan kamera, perjalanan kembali kami lanjutkan. 
**
Aku memicingkan mata saat bukaan jendela mobil meloloskan sinar pagi masuk membelai sebelah wajahku. Merayuku untuk menyaksikan panorama sepanjang jalan yang dipenuhi karst dan lekukan gunung sebelum akhirnya sampai di negeri Kuburan. Sayang, lagi-lagi kelokan jalan memaksakan kantukku. Aku tak ingin mual. 

Pukul delapan tepat, aku membuka mata nyaris bersamaan dengan berakhirnya sisa perjalanan. Ini dia, Tana Toraja-yang orang menyebutnya Bumi Lakipadada.

2 komentar: