Minggu, 12 Januari 2014

Merindukan Pulang

Benar saja. Pada sebuah rumah, selalu ada rindu untuk pulang. 

Lama mungkin, kita tak lagi pernah semeja untuk sekedar menghabiskan suapan nasi yang adalah hasil kerja kita. Kau benar, mungkin kau patut mengutukku, kawan. Di meja ini, kita pernah saja tertawa di sini. Berbagi obrolan tentang seisi penghuni rumah. Bahkan pernah bercucuran air mata sembari melahap habis cerita di meja makan. Yang kebanyakan membicarakan mereka yang meninggalkan rumah. Mereka yang hanya sesekali saja kembali membuka pintu rumah, sekedar menampakkan wajahnya, lalu kemudian pergi untuk mencari rumahnya yang lain-yang mungkin dirasainya lebih nyaman untuk makan. Atau mereka yang kita pernah sama-sama mengutuk mereka yang tak lagi menganggap rumah ini rumah mereka.

Iya, kurasa kau patut mengutukku. Sekarang aku merasa menjadi mereka. Pergi karena tak lagi nyaman dengan rumah ini. Obrolan sarapan pagi, makan siang, makan malam, atau sekedar duduk menghabiskan segelas air putih, tak lagi aku merasakan hangat. Segalanya dingin. Iya dingin. Bukan makanan dan minumannya, tapi perbincangan kita, yang sesekali dengan mereka. 

Kau tahu? Aku muak. Tapi tetap salah. Meninggalkan kalian. Ragaku saja yang disini, sekedar menyelesaikan tugasku. Memasak untuk kalian atau sesekali makan bersama kalian, itu topeng. Maaf. Sekali lagi maaf. Banyak yang berubah dari rumah kita. Entah hanya mataku saja yang melihatnya, ataukah memang sejak awal ekspektasiku sudah salah tentang rumah kita ini. Ah maaf lagi, untuk harap yang juga tak senilai dengan pengabdianku.

Naif sekali aku menyalahkan rumah kita. Sepertinya aku hanya ingin mengelabui diri. Sebetulnya bukan rumah, tapi mereka. Iya, mereka dengan ke-aku-annya. Mereka yang banyak, yang aku tak lagi sepakat dengan banyak perangainya.

Lalu sekarang, aku tak layak menyalahkan mereka. Baru saja aku terbangun, untuk apa menyalahkan jika tak berusaha memperbaiki. Paling tidak memahami. Aku tak yakin memahami mereka dengan benar-benar. Ke-aku-an yang kuvoniskan pada mereka, aku tak menyadari bahwa ia juga padaku. Hampir saja aku luput bahwa meninggalkan rumah adalah ke-aku-an yang lain. Yang mungkin saja membuat seisi rumah gaduh lalu aku tak lagi tau, padahal aku masih disana. 

Amat sering kau memintaku pulang, kawan. Maaf, jika tak kugubris. Ada hal yang aku tak sepaham saat kau memintanya. Yang kau harus tau, aku tak menemukannya pada rumahku yang lain, yang kuakui saja jauh lebih hangat dari rumah 'kita' yang sekarang. Maka aku banyak memilih disini. Lalu semakin banyak kalian membicarakan kepergianku yang juga kebanyakan hasil imaji kalian saja, maka semakin aku tak menginginkan untuk pulang.

sumber
Memang sulit jika tidak memahami dinamika kita. Pernah aku pada kondisi itu. Muak hampir saja membutakanku jalan pulang. Setelah lama, rindulah penawarnya. Sudah banyak mungkin, ihwal yang kutau bukan dari obrolan di meja makan, tapi hiruk pikuk di luar sana yang angin coba mengabarkan padaku.

Aku rindu untuk pulang, kawan. Merindukan obrolan senja di meja makan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar