Jumat, 31 Januari 2014

Menghabisi Januari

Well, Saya merasa sangat sukses di bulan awal tahun genap ini. Sukses mengembalikan semangat menulisku. Yap, ini memang salah satu resolusi di tahun 2014. Ada sangat banyak, tenanglah, jika setia bertengger di rumah keduaku ini, satu persatu resolusi itu akan kamu ketahui. 

Kurasa kesuksesanku di bulan ini mengandunglahirkan anak-anakku jauh membuahkan lega dari tahun lalu. Bulan ini lebih banyak tulisan dibandingkan setahun lalu, sebulan berbading setahun berarti. Jangan, jangan sampai hanya di Januari, doakan saya pemirsa agar tetap konsisten untuk mengandunglahirkan bayi-bayi tulisan di sini. Pula tahun ini, saya berharap ada buku baru lagi yang terbit bertuliskan Isma Ariyani Iskandar. Semoga. Itu salah satu resolusi yang lain di dunia persilatan-pena. Entah dari mana muncul istilah ini. Tapi biarlah, biarkan saya menggunakannya demi membumikobarkan semangat menulisku. *apasih. 

Oh iya, kemarin muncul cerpen "Tragedi Dusunku" di PK Identitas Unhas, baiklah itu pembuka tahun. Selanjutnya saya menargetkan lebih. Belakangan saya memang sangat jarang menuliskan cerpen. Menutup Januari ini berarti membuka lembaran baru, mesti nulis yang lebih banyak lagi, target media (Bukan Identitas lagi, bosan. *sok, padahal cuma sekian kali.). Lalu target meja ujian SKRIPSI. *hak, yang satu itu memang tidak boleh terlupakan. Ah, doakanlah saya agar bisa memakai toga di bulan enam ini, kawan. 

Baiklah jika demikian, mari menghabisi Januari dengan tempelan-tempelan sticky note yang lebih banyak di dinding kamar. :)
Dan, Selamat berakhir, Januari. 

Rabu, 29 Januari 2014

Musim Basah yang Keempat

Seringnya aku ingin menggugat. Tapi bodohnya entah pada siapa. 

Mengapa kau tidak angin bawa saja bersama musim basah yang keempat ini. Lebur bersama air mata yang sudah banyak ruah sebab kau. Sampai pada masa aku menyimpulkan kau telah aku lupa. Setiap kali sebelum akhirnya aku kerap menyimpulkan, masih saja aku paut akan kau. Lucu memang, tapi begini lah akhirnya. Aku yang bodoh. Atau memang sebab kita sudah bertanda tangan di atas materai persepakatan alam?

Sampai pada saat aku merasa tersalah, dan merasa teramat jahat pada seseorang yang kupastikan ia tulus bercurah cerita padaku. Bertanya kabar. Menyuruh makan saat aku lupa. Dan lalu kuminta pula ia menjauh, seperti yang aku pun pernah lakukan akan kau, meski dengan cara yang berbeda. Kupikir agar aku adil. 

Lalu di musim basah tahun ini, kau datang lagi, pula ia. Ingin rasanya aku lari ke tempat yang entah dimana kakiku akan terhenti sebab merasai lelah. Sampai aku tak lagi merasa salah akan sesiapa, pula pada diriku sendiri.

Minggu, 26 Januari 2014

Menyoal Usia dan Cinta

Menyoal tentang cinta, perkara sepertinya tak kan ada ujung. 

Beberapa hari belakangan aku sering larut akan obrolan banyak orang - yang kebanyakan dalam tulisan. Iya, cinta. Tak usah kau tanya hati kapan kita bisa lepas dari obrolan tentang cinta. Tidak akan pernah. Matilah hati jika tak ada cinta. Mati hati, tak lama raga pun minta dinisankan. Mungkin jika bukan dalam kata kau ucapkan, namun hati adalah sebaik-baik pemuja cinta.

Cinta yang kumaksudkan, tentulah kita sudah sama-sama mafhum. Cinta yang tidak hanya pada lawan jenis tentunya. Tapi cinta yang sebenar-benar cinta.

Ah, sungguh akupun tak paham benar, sudahkah hati peroleh cinta yang sebenar-benar cinta? Kurasa tanyakan pada hati masing-masing kita, melalui ucap dan laku. Jika belum, maka bersegeralah menuju padanya. Jika tak tahu caranya, cukup perhatikan orang-orang di sekitar yang penuh akan cinta hatinya. Jika kau tak mampu membedakan, sasarlah tempat di mana ada mereka yang membuat damai kau di sana. 

Baiklah, bukan itu yang sebetulnya kuperkarakan pagi ini. Di pagi buta aku terbangun dari mimpi yang entah, laptop masih dalam keadaan hidup. Semalam aku tertidur sebelum waktunya rupanya. Saat aku hendak mematikan laptop, kusempatkan mengecek dashbor blogku, ah ada tulisan baru seorang kawan lagi, dan yah, tentang cinta dan urusan pinang meminang. Pagi yang tadinya membelai kembali mataku untuk tertidur setelah mendirikan subuh, melek lagi akhirnya. 

Sabtu, 25 Januari 2014

Pohon Asa

Usah kau hitung masa ke berapa kau tanam asa lalu pergi meninggalkannya. Kita pernah bersama merawatnya tanpa ada saling menyepakati. Sesekali kau menyirami kala aku luput. Sesekali kau enyah bahkan hampir hingga layu. Lalu setelah hampir ia mati, tiba lagi kau padanya. Berapa lama kau akan di sana? Menarik ulur hidup dan mati asa?

Hari sebelum ini, tak sengaja mata kita sua pada satu titik. Lenyap logika seketika. Akal sekali-kali hanya nama saja. Hilang ia jika hati hendak bicara.  Mantra apa telah kau sebar? 

Saban hari aku hendak berhenti saja. Persepakatan yang tiada, tak lain adalah jalan pengantar mati. Jika asa sampai pula pada puncaknya, nyawapun tak berharga lagi, bahkan kadang Tuhan pun terlupa. Ah, jangan sampai. 

Dimana ia datang, maka di situ ia kembali. Sujudlah pemintal asa yang lain. Asa yang sebenar-benar asa.
-Jika Ia berkehendak, pohon asa kita Ia akan jaga. 


**Tulisan ini sepertinya sebab kandung Sindrom Hayati-Zainuddin**

Kamis, 23 Januari 2014

Salah Mantra

Pagi tadi sudah kubuat persepakatan pada alam. Kubisikkan mantra padanya. Bukan mantra pemanggil hujan, pula bukan penangkal angin. Aku sepakat pada pagi yang alam buka dengan manis. Pun ia sepakat senyumku yang sipu padanya. Akan ada kabar gembira hari ini, bisikku.

Maka semesta menonton pertunjukanku. Runut benar lakonnya meneladaniku. Sebagaimana masa, berjalanlah ia pada putarannya.
Ah, Ada saja ihwal yang tak mampu kita rencanai.

Lalu, aku biak sebab ruah sedu. Atmosfer berubah dongkol.
Tak ingkar rupanya, sebab persepakatan kita, langit pun dongkol pada bumi.
Dongkolku seringkali berakhir ruah air mata. Sesak.
Lalu masa yang persis sama, mata langit meruahkan sedu.
Jika tak membawa payung, padulah seduku pada sedu langit. Ah mantraku salah.

Senin, 20 Januari 2014

Tragedi Dusunku

Dunia tak ubahnya memenjarakan kerakusan. Sudah belasan tahun dendam belum juga membusuk dan mati. Bahkan sudah beranak cucu. Untunglah ayah selalu mengajarkanku bijak. Lalu adakah manusia yang lepas dari luput?
Ah, ayahku sayang telah renta. Rambutnya putih hampir seluruhnya. Keriput sudah wajah dan jemarinya. Ini aku yang tak lagi kanak, ayah. Pulang dengan seribu jawaban yang akhirnya waktu menuntunku padanya.
“Bagaimana keadaan masjid, Ayah?”
“Begitulah, Nak. Masih ada dendam di antara mereka. Dusun kita masih dua kubu. Padahal sudah berapa kali ganti pemerintah.”
Tahta dusun berakhir tragedi di sini. Selalu ada dendam. Bahkan masjid pun jadi medan tikam.
“Tugasmu, menyatukannya kembali, Nak.”
*

Minggu, 19 Januari 2014

Selamat berulang Bulan & Tanggal, Perempuan ^^

Untuk "Perempuan" yang menamai diri Azure Azalea.


Sejak takdir menuliskan diri pada pertemuan kita di sebuah gedung, sejak itu aku lekat pada ingatan akan kau, Perempuan. Jika kau masih ingat, di sana  kita pernah bersila manis, berucap mimpi sama-sama menjadi purna nantinya, saling mendoa dalam dekap semesta. Iya, doa yang membimbing jemari kita pada satu bentukan yang sama. Kurasa kau masih ingat. Karena akupun masih. 

Setelah pertemuan itu, entah dimana kali kedua kita dipertemukan. Aku lupa. Kurasa kau pun. Karena sakit kita sama. Sakit lupa. 

Selasa, 14 Januari 2014

Perjalanan ke Bumi Lakipadada #Part 3 (Ke negeri Kabut)

Masih juga aku berusaha melawan ronta seisi perut yang meminta ditumpahkan. Untung saja pertahananku masih kokoh. Lika liku jalan memang tak ada habisnya. Kuingatkan, jangan mengimpikannya di sini. Ingin memejamkan mata, sayang jika melewatkan landscape di sepanjang mata memandang. 

Destinasi selanjutnya adalah Batu Tumonga.Sepanjang perjalanan, tak henti mataku terpukau pesona hijau alam Toraja. sedikit demi sedikit perjalanan semakin menanjak. Sepertinya mobil sedang mengejar puncak. Hamparan hijau berpematang, berbungkus rapi dengan keelokan subur oryza. 

Tak jarang kudapati bebatuan besar di sisi jalan. Pun di tengah sawah. Atau bahkan pada gundukan yang membentuk rupanya sendiri. Batu hitam, yang lalu berpintu. Unik. Seperti sedang menyaksikan film yang entah. Bantu berpintu yang di kanan kirinya masih ada rangkaian bunga duka. Itu kuburan rupanya. Tak habis pikir aku dibuatnya. Melubangi batu untuk menyimpan mayat, itu mereka sebut kuburan.

Senin, 13 Januari 2014

Perjalanan ke Bumi Lakipadada #Part 2 (Menyaksikan Upacara Rambu Solo)

Bumi Lakipadada, begitu orang menamai Tana Toraja. 


Dari balik patung Lakipadada aku meneropong jauh ke arah berlawanan. Imaji menari di atas bukit yang berlatar gereja Bukit Sion. Kubentangkan nafas panjang beralamat siap menjelajah alam Toraja yang penuh likukan jalan. Kutegaskan ini bukan perjalanan biasa. Bayang-bayang tradisi upacara kematian yang tak pernah kulihat sebelumnya, membuatku sedikit geming membayangkan bagaimana rupanya. Dan alamat pembuka perjalanan kami adalah ke tempat salah seorang rekan yang di sana tengah berjalan upacara Rambu Solo. Kakek yang meninggal ternyata sudah memasuki usia sembilan bulan kematian. Bagi orang baru sepertiku, cuat tanya mengambang-ambang di kepala.

Sepanjang perjalanan terbentang hijau alam Toraja. Bukit dengan hias gereja di hampir setiap puncaknya, menambah kekhasan Toraja. Mungkin itu sebab mengapa Toraja disebut bumi seribu gereja. Pula tata bangunan yang tak apik berdiri merupakan keindahan yang lain menurutku. Aku menyukai bagian itu, mengingat tipografi daerah ini memang berbukit dan berkelok-kelok. 

Belum jauh mobil kami meninggalkan Makale menuju Rante Pao, masih lekat kupandangi setiap hamparan hijau di sayap kanan dan kiri jalan. Pemandangan yang tak jarang didapati adalah perbicangan bangau di atas punggung kerbau. Persahabatan alam.

Minggu, 12 Januari 2014

Perjalanan ke Bumi Lakipadada #Part 1

7-12 Januari 2014.

Tiga rombongan lepas sudah dari hiruk pikuk kota. Menanggalkan aktivitas yang sekiranya sedikit banyak berperan melahirkan penat pada tuannya. Aku salah satunya, pergi sekedar untuk melepaskan penat, juga sebelum kembali diperhadapkan dengan benih-benih penat yang lain. Sepertinya akan menjadi keniscayaan lagi jika mengingat status sebagai "mahasiswa tingkat akhir". Juga untuk menggenapkan mimpiku berkeliling Sulawesi. 

Tepat pukul sebelas malam, kami bergegas meninggalkan kekaki mungil di koridor kampus. Sejak pagi semut-semut koridor sepertinya jemu memandangi wajah lusuh kami yang tak juga kunjung beringsut dari sana. Kabar yang dinanti sejak pagi tak lain hanya kabar keberangkatan. Seharusnya kami memang sudah memulai perjalanan sejak tanggal 6 kemarin, namun lagi-lagi, tidak ada sebaik-baik perencana kecuali yang di atas. Lalu langit malam semakin pekat, barulah kabar baik sampai pada tuan-tuannya. Beranjaklah kami ber-22 orang ke bumi Lakipadada.
**
Pagi membuka mata lebih dulu dariku. Aku memang lelap dan melewatkan banyak likuk jalan (setengah dari daerah Enrekang), yang mungkin jika terjaga akan berasa mual. Aku membalik pandang ke arah kanan jalan. Elok benar yang kulihat. Lekukan Gunung Nona rupanya, gunung yang katanya eksotis. Ini memang kali kedua aku ke Toraja, namun di perjalanan sebelumnya aku tak sempat menyaksikannya, sebab kantuk yang dipaksakan saat berhadapan dengan jalan berkelok-kelok.

Obrolan dengan Tengkorak

Pekuburan adat Kete' Kesu-Toraja (photo by Rohadi Malik)
Hallo, tengkorak. Apa kabarmu?
Kau kah yang aku sua di tempat ini lima tahun lalu?
Kau masih disini rupanya. Berapa tambahan temanmu disini setelah lima tahun tak bersua?
Lihat, semakin banyak tulang yang berserakan.
Sudah berapa banyak yang datang mengunjungimu? Mengajakmu berfoto? Memindahkan tetulangmu?
Jika bisa, apa kau akan berontak?

Tak perlu kau jawab. Biar kuterka.

Merindukan Pulang

Benar saja. Pada sebuah rumah, selalu ada rindu untuk pulang. 

Lama mungkin, kita tak lagi pernah semeja untuk sekedar menghabiskan suapan nasi yang adalah hasil kerja kita. Kau benar, mungkin kau patut mengutukku, kawan. Di meja ini, kita pernah saja tertawa di sini. Berbagi obrolan tentang seisi penghuni rumah. Bahkan pernah bercucuran air mata sembari melahap habis cerita di meja makan. Yang kebanyakan membicarakan mereka yang meninggalkan rumah. Mereka yang hanya sesekali saja kembali membuka pintu rumah, sekedar menampakkan wajahnya, lalu kemudian pergi untuk mencari rumahnya yang lain-yang mungkin dirasainya lebih nyaman untuk makan. Atau mereka yang kita pernah sama-sama mengutuk mereka yang tak lagi menganggap rumah ini rumah mereka.

Iya, kurasa kau patut mengutukku. Sekarang aku merasa menjadi mereka. Pergi karena tak lagi nyaman dengan rumah ini. Obrolan sarapan pagi, makan siang, makan malam, atau sekedar duduk menghabiskan segelas air putih, tak lagi aku merasakan hangat. Segalanya dingin. Iya dingin. Bukan makanan dan minumannya, tapi perbincangan kita, yang sesekali dengan mereka. 

Kau tahu? Aku muak. Tapi tetap salah. Meninggalkan kalian. Ragaku saja yang disini, sekedar menyelesaikan tugasku. Memasak untuk kalian atau sesekali makan bersama kalian, itu topeng. Maaf. Sekali lagi maaf. Banyak yang berubah dari rumah kita. Entah hanya mataku saja yang melihatnya, ataukah memang sejak awal ekspektasiku sudah salah tentang rumah kita ini. Ah maaf lagi, untuk harap yang juga tak senilai dengan pengabdianku.

Minggu, 05 Januari 2014

Seseorang Memanggilku "Riy"

Belakangan, ada-ada saja ihwal yang aku tertarik untuk menuliskannya. Sepertinya musim basah belakangan sedikit banyak telah menumbuhkan kembali canduku untuk menoreh cerita di sini. Seperti sebelumnya, pernah kukatakan "pada saat hujan, ada nyanyian yang hanya bisa dirasakan oleh orang yang merindu." Lalu, rindu itu akan mengandung dan melahirkan kembali banyak kenangan yang mungkin akan membuatmu geli atau bahkan larut dalam sedu. Dan menulis sedikit banyak juga telah menjadi penawarnya. 

Aku pernah setuju dengan banyak orang yang ingin melupakan kenangannya. Salah satu cara yang kata mereka mustajab adalah dengan tak ingin menceritakannya kembali. Lalu waktu berontak padaku. Tidak lagi aku sepakat dengan itu. Benar kata seorang teman bahwa kenangan tak pernah bersalah. 

Alasan kedua mengapa musim ini kembali terlahir candu, sebab Rinai kerap memenjarakan kita pada sudut ruangan yang akhirnya hanya berteman keyboard. Lalu tak ada lagi lain pilihan jika tidak dengan menarikan jemari padanya. Iya, seperti beberapa tulisan sebelumnya, aku di sana. Kurasa Rinai akan banyak melahirkan penulis amatiran di dunia. Namun setelah amatiran, semesta akan menjadikannya berarti. Semoga.

Kamis, 02 Januari 2014

Januari Disisakan Desember

Lagi. Kusayangkan tak menuliskan banyak cerita di tahun kemarin.
Pula ingatanku yang kalian tidak ragukan lagi pelupanya, barang tentu tak bisa mengingat semuanya. Mungkin akan kuceritakan, namun hanya kulitnya saja. 

Akan kuingat yang bisa kuingat saja. Kumpulan kenangan pada satu cerita. 
Inilah sebab mengapa aku suka dengan tahun kemarin. Memang aku luput untuk menuliskannya disini, tapi tidak di buku catatan kecilku yang meskipun tak semuanya juga sempat kuceritakan.

"Saat hujan, ada nyanyian yang hanya bisa dirasakan oleh orang yang merindu"
(dipopulerkan oleh Batara Al-Isra yg entah perkataan siapa)

Seperti saat menuliskan ini, hujan di luar sedang berlomba mengguyur daun dan pepohonan. Dengan rakus, iya ruah pada tuannya. Hujan memang sedang ingin berkisah dan bersaksi. Aku yakin, sedang banyak disaksikannya jiwa tengah merindu. Seperti aku merindukan tahunku. tahun dengan kumpulan ceritanya. Bahkan sedikit aku hampir tak ingin Desember berlalu. Terlalu banyak yang ingin kuselesaikan di Desember. Terlalu banyak. Dan Januari disisakannya.

Musim yang Basah

Di luar masih sangat basah rupanya.
Ah, aku lupa, musim memang sedang basah.
Juga, aku hampir lupa, Desember baru saja pergi, kupikir ini masih tahun yang sama.
2013.

Banyak,
Sungguh sangat banyak yang ingin kuceritakan di Desember.
Padamu, juga pada senja.
Belakangan, jarang aku melihat  senja.
Musim membawanya pergi. Mungkin juga kau.

Aku ingin melihat senja.
Tapi,
Aku tak ingin melihatmu.
Semoga juga kau.

Itu sebab senja selalu indah,
Lalu "kita"?

Rabu, 01 Januari 2014

Katanya, Beginilah "New Year Eve"

Dini hari 03.23

Masih ada bunyi dug-dug di luar sana, sepertinya tak jauh dari sini masih ada yang tengah melakukan ritual ajeb-ajeb. aku tak mengerti betul ritual itu, tapi anggap saja mereka tengah menggoyangkan seluruh badannya, melompat, dan bahkan lupa daratan, ada yang bertemankan alkohol di tangan kanannya, lalu asik menggeleng-gelengkan kepalanya. Seperti yang kulihat di anjungan pantai losari sekitar sejam yang lalu. Di kompleks kos-kosan seperti ini, entah sumber suara DJ seperti itu muncul dari pojok mana, yang kutahu suaranya masih sangat jelas. Ah, mereka lupa waktu dan tempat.

Aku sendiri tak mengerti mengapa akhirnya bisa kembali ke kamar kosan di pagi-pagi buta seperti ini. Ah mana ada perempuan berjilbab dan ber-rok sepertiku masih berada di luar sana sampai larut? Siapa yang mengira niatku untuk mengumpulkan tugas ke rumah dosenku akan berakhir di Losari? 

Selepas magrib, ku sms salah seorang temanku untuk mengantarkanku ke rumah dosenku sekedar mengumpulkan tugas yang tertinggal. Sebenarnya aku meniatkan untuk menitipkannya saja. Namun ia memintaku untuk ikut saja ke rumah bapak, katanya sedang ada acara makan-makan di sana. Bapak lagi open house untuk teman-teman yang sedang tidak pulang kampung. Entah dalam rangka tahun baru kah atau momennya saja yang kebetulan.