Masih
teringat raut wajah teman-temanku malam itu. Malam syahdu nan mengharukan.
Malam itu adalah H-1 kegiatan penyambutan mahasiswa baru di universitas kami,
Universitas Fajar Menyingsing. Entahlah aku ingin menyesali kebiasaanku
menunda-nunda waktu atau malah bersyukur. Di satu sisi, aku memang bersyukur
bisa menghabiskan malam dengan teman-teman seorganisasiku, ritual ini memang
jarang kami lakukan. Namun di sisi lain, ini membuat kerjaan serba terburu-buru
dan akhirnya tak beres. Beberapa hari sebelum hari H aku seharusnya sudah
menyiapkan printer yang akan dipakai untuk mencetak leaflet yang telah kubuat
untuk acara itu. Kuandalkan printer salah satu temanku. Ternyata bena-benar
salah, dia pun menggunakan printernya dalam kegiatan yang sama, hanya saja dia
tak seorganisasi denganku.
H-1 kuhubungi temanku itu, sebut saja namanya
Tukiyem. Kuminta iya meminjamkan printernya padaku karena printer milik
organisasiku sedang rusak. Sudah kurencanakan untuk menyelesaikan cetakan
leaflet sejumlah 500 eksamplar itu sendirian. Sayang sepuluh sayang seperti
yang kukatakan Tukiyem menggunakan printernya. Kutelpon satu persatu
teman-temanku yang kuperkirakan memiliki printer. Lagi, sayang seratus sayang,
Sumantri yang seharusnya bisa meminjamkan printernya ternyata masih di kampung
halamannya menikmati liburan. Dia malah menyarankan aku ke tukang printer saja
lalu foto copy, dan itu sama sekali takkan kulakukan. Itu sama saja menyerah.
Hampirlah aku menangis, Santoso, Markona, Ambo Dalle, Sannero, atau pun
Nahorang, tak satupun yang memiliki printer. Begitu pula saat kutelpon Limang,
Jumrang, Bintang, Rustang. Satu lagi, Jihan, entahlah mungkin namanya Jihang
seperti yang lainnya. Maklumlah dengan dialek orang Makassar, sampai-sampai
dialeknya terikut pada saat pemberian nama pada anaknya.
Di Makassar kita memang telah akrab dengan istilah
“Okkots”, kata yang seharusnya diakhiri huruf “k”, malah diberi akhiran “t”
atau juga sebaliknya, begitu pula “n” kadang seenaknya diubah menjadi “ng”. Aku
bahkan tak habis pikir, secinta itukah mereka pada bahasa daerahnya. Atau
mungkin mereka memang tak bisa menyebutkan “ng”. Namun ada pula yang seharusnya
berakhiran “ng” malah diberi akhiran “n”. Bukan hal baru lagi jika kita
menemukan dialek seperti ini “Nak, sini makang nasi kunin, ada ikang banden di
sampin pangci, hati-hati banyat tulannya.”
Heran. Okkots dipelihara. Tapi jangan salah, bahkan
dosenkupun ada yang demikian. Kadang-kadang kalau sudah bosan, kuhitung berapa
kali pak Alimantung ini okkots. “Kaliang ini generasi pelanju’, kaliang tida’
boleh jalang di tempa’ terus, cari hal-hal baru yam bisa meningkatkang keahliang
kaliang.” Aku kadang jenuh menghitung “ng” yang diucapkannya sampai otakku
berputar memikirkan bagaimana caranya agar cepat mengakhiri kuliahnya. “Pak,
boleh saya keluar sebentar? mau buan anging. Seluruh temanku tertawa. Bapak
tersinggung dan risih dengan tawa teman-temanku lalu akhirnya keluar. Sukses.
Lupakan tentang dosenku itu, tapi jangan
lupakan Jumrang, Limang, dan juga Bintang karena merekalah yang menemaniku
sepanjang malam itu. Panitia penyambutan saat itu memang terbatas, akhirnya
hanya kami berempat yang bisa berjuang. Aku mulai berputus asa, tak ada seorang
pun yang memberikan kepastian, semuanya PHP, Pemberi Harapan Palsu. Aku galau.
Misi yang kumulai sejak usai shalat magrib masih
juga belum menuai hasil. Kukerahkan teman-temanku untuk tetap berusaha, dan
terbitlah harapan itu. Pukul 10 Jumrang dan Bintang menjemput sang printer di
rumah Romlah. Sialnya tipe si printer ternyata berbeda dengan master tipe
printer yang terinstal di laptopku. Dengan terpaksa Jumrang kembali untuk mengambil
master itu. untung saja perjalanan bolak-balik ke rumah Romlah hanya butuh 30
menit perjalan.
Master printer telah terinstal, aku tak lagi galau.
Tapi sayang sejuta sayang, si printer malah eror. “Astaganaga, kalau begini,
mana bisa mulai kita? Jumrang mulai jengkel. Si printer memang baik-baik saja
sebelum Bintang membawanya kesini. Baiklah, dengan semangat tukang servis
Jumrang mencoba membenarkan si printer. Kata anak muda Makassar “sotta-sotta
berhadiah”, kata anak muda Jawa “sotoy”. Sampai saat ini aku pun belum mengerti
makna dari “sotta-sotta berhadiah itu, mungkin maksudnya berhadiah piring
cantik.
Hampir dua jam dengan modal sotta-sotta berhadiah Jumrang akhirnya bisa membenarkan si printer.
Dalam dua jam PHP itu, ternyata Limang dan Bintang tertidur.
“Ada bom, menyingkiiiiiiiiiiir,,,” teriak Bintang.
Kurasa iya bermimpi.
“Putuskan salah satu kabelnya, setahuku di
film-film kabel berwarna hijau yang harus diputuskan.” Kujawab dengan terkekeh.
“Sudah kuputuskan kabel hijau tapi waktunya tetap
jalan. Apa yang harus kulakukan? Aku akan mati, aku akan mati.”
“Kau yakin itu hijau?”
“Entahlah, itu hasil hitunganku sampai sepuluh.
Kabel kesepuluh itulah yang kupotong. Aku benar-benar akan matiiiiiii... Apa
lagi yang harus kulakukan?”
“Ikuti aku, Asyhadu Alla ilaha iillallah, wa
asyahaduanna muhammadarrasululullah...” Kubisikkan dekat ditelinganya. Jumrang
tertawa terpingkal-pingkal. “doooooorr...” Jumrang menambahkan.
Tiba-tiba matanya membelalak, sentak dia berdiri
tegak. “mana bomnya?”
“Dimakan kucing tuh. Haahaha... Udah ayo kerja”
Limang pun terbangun karena keheboan Bintang. “Gila
memangnya ada pasar malam ya? Eh gimana leafletnya, sudah dicetak semua?”
“Sudah kepala lo peyang?”
**
Aku masih saja menahan kantuk. Sudah pukul 5 subuh. Mau tidur, tidak mungkin.
Bukan karena leafletnya belum selesai dicetak. Hanya saja kamar kos-kosanku
memang tak memungkinkan untuk aku bisa berbaring sejenak di tengah tumpukan
kertas dan posisi printer yang berada di tengah, lagi pula leafletnya memang
belum kelar. Dengan setengah sadar, kuselesaikan semuanya.
“Ini cetaknya terbalik, halaman belakangnya tak sesuai halaman awal. Gimana mau
dilipat. Walaaaah, ini banyak sekali.”
“Astaganaga....”. Aku menyerah.
#cerpen ini diikutkan dalam lomba cerpen creative
comedy Faber Castell#
mice story, bikin senyum2 sendiri :)
BalasHapus