Kamis, 06 Desember 2012

Kelak Suatu Saat Kau akan Bercerita Tentang Hari Ini, Tentang suatu Hari di Tangga Seribu : Part 2

Air Terjun Bulan, 2 desember 2012


Kuharap ini menjadi yang pertama sekaligus terakhir aku menginjakkan kaki di Air Terjun Bulan ini. Bukan karena aku tak mau lagi melihat keindahannya, Hanya saja seribu anak tangga itu, oh begitu panjang dan terjal. Selalu ada kekhawatiran untuk setiap langkah. Bagaimana jika ada yang terkilir? Bagaimana jika kaki-kaki mereka keram dan tak bisa melanjutkan perjalanan? Bagaimana jika ada yang terpeleset? bagaimana jika ada yang pingsan karena kecapean? Bagaimana jika ada di antara mereka yang berpenyakit asma dan tiba-tiba kambuh tanpa ada obat yang bisa digunakan? Bagaimana jika.................
Ah, untung saja semua itu tidak terjadi dalam perjalanan kami, perjalanan panjang di seribu anak tangga. Tapi tunggu, ini belum berakhir, aku masih belum bisa menanggalkan kecemasanku. Masih ada perjalanan pulang, kita akan kembali melewati seribu anak tangga itu, dan kali ini kita akan mendaki. Oh tak bisa kubayangkan.

Kuloncati batu sungai yang berukuran kecil satu demi satu. Lalu kupanjati batu yang ukurannya lebih besar untuk bisa mengabadikan setiap momen di tempat indah ini. Kelak suatu saat aku akan bercerita tentang hari ini sambil menatap setiap gambar yang bisa kuabadikan. Aku tak mau kehilangan kesempatan.
Kupandangi kesibukan para peserta TOWR, menikmati aroma alam sembari duduk meramu imajinasinya dalam carikan kertas. Inilah TOWR yang paling keren.
Gemuruh tumpahan air, gelak tawa, motret kanan, motret kiri, melompat, berlari, berenang, menulis, berpikir, terdiam, bercerita, berhayal, bersama, bersatu, berjaya *hiihihi sospol banget.
Saat semua sibuk dengan urusannya masing-masing, muncullah Genta (Aris) memberikan peringatan untuk segera bergegas. Waktu mengisyaratkan kami untuk segera meninggalkan tempat ini. Masih ada agenda lain yang harus diselesaikan.
Kulirik penunjuk waktu di handponeku. Tepat 11.31 semua rombongan telah meninggalkan Air Terjun. “selamat tinggal...” teriakku. Rombonganku adalah rombongan terakhir yang meninggalkan air terjun. Rombongan panitia yang narsis. Sebut saja rombongan kami adalah rombongan 8 cm, kami berjumlah 8 orang. Aku, Nunu’, K’Jum, Batara, Memet, Ahmad, Oci’, dan juga Aris. Tuhan telah menakdirkan kebersamaan kami dalam rombongan ini. Yah, ini bukan kebetulan. Jika seandainya terjadi apa-apa dengan peserta di depan sana, insya Allah kami yang akan menolongnya. Kami tim penolong dan penyelamat, untuk sementara anggaplah demikian. 
Rombongan 8 cm
         Cerita yang tak kunjung usai serta tawa yang tak kunjung berhenti sesungguhnya akan menambah pemborosan tenaga. Namun tak ada yang bisa terdiam. Keriuhan mulai meredah saat kami menemukan satu rombongan di depan kami. Rombongan yang dipandu oleh k’dewi dan k’ Aish. Suasana yang aku tak bisa menyebutnya sebuah kesahajaan atau sebuah ketakutan atau malah sebuah kecemasan. Yah kecemasan. Di antara tawa dan cerita tadi aku hampir tidak merasakan kecemasan itu lagi. Namun kini kecemasan itu menyerangku dalam serangan yang cukup kuat.
            Aku menyadari bahwa belum terlalu jauh kami meninggalkan air terjun itu. artinya masih ratusan anak tangga yang akan kami daki. Dan sekarang Mala, salah satu peserta kini duduk tertunduk mencoba melawan sebuah kesakitan. Dalam diam ia bercucuran air mata menahan kesakitannya. 
Ini Mala, Jika bukan dia, tak lengkap kisah ekspedisi kita
            Beberapa menit beristirahat, ia mencoba meyakinkan kami untuk segera melanjutkan perjalanan. Mendaki, lagi dan lagi. Mungkin baru sekitar dua puluh anak tangga,  Mala mencoba melawan kesakitan itu lagi, kami semua terduduk, mencoba memberikan semangat pada Mala. Kupijiti punggungnya. Aku ketakutan. Ya Allah, di tengah hutan seperti ini tak ada yang bisa kami lakukan.
“kambuh asmaku k’...”
Ia mencoba menarik nafas, lagi, lagi, dan lagi. Dengan tergesa dicobanya lagi tapi tak berhasil. Perjuangannya begitu keras, tak ada yang bisa membantunya menarik nafas kecuali dirinya sendiri. Tak ada minyak kayu putih, minyak angin, minyak gosok, inhyren, balsem, dan segala jenis minyak-minyakan yang kami punya. Keadaan ini berlangsung lama. Kalang kabut, semua panitia yang ada di sana tak bisa berbuat  apa-apa kecuali berusaha membisikkan istigfar, membacakan ayat-ayat alqur’an, menenangkannya, memijiti punggungnya. Sungguh hanya itu yang bisa kami lakukan.
            Sekitar 20 menit kami dalam kondisi terkunci, masih tak seorang pun yang bisa memberikan bantuan. Dalam hati aku memikirkan hal yang tidak-tidak. Kucoba kutepis namun tak bisa. Apa yang akan terjadi dengan anak ini di tengah hutan ya Allah. Medan tempat membaringkannya pun bukanlah medan yang rata, sekarang kami ada di atas anak tangga dengan kemiringan sekitar 45 derajat. Kemiringan ini masih cukup menguntungkan bagi kami untuk bisa membaringkan Mala.
            Peserta yang lain kami biarkan berlalu, termasuk Nunu’ yang tadi bersama kami. Dan sekarang hanya ada 3 perempuan dan beberapa panitia laki-laki yang tida kutahu pasti jumlahnya. Yang kutahu adalah hanya kami bertiga yang bisa memegang dan meng-ini-itukan Mala, yang lain hany bisa memberikan aba-aba. Kami usahakan tetap berada di koridor agama. Tak bersentuhan antara perempuan dan laki-laki. Begitulah FLP. Seandainya sekarang adalah pengkaderan himpunan dan segala macamnya, tak ada aturan ini yang berlaku. Meskipun ini agak memberatkan kami bertiga dengan bodi mungil-mungil ini (*sok mungil) sementara Mala dengan ukuran yang lebih XL, namun tak menyurutkan semangat kami untuk bisa menahan mala dalam pangkuan yang tak bisa kujelaskan lagi. Aku kesakitan, tanganku keram menahan kepalanya. Aku dan k’aish.
            K’Jum mencoba ke atas untuk meminta pertolongan, membawakan sesuatu yang bisa dihirup, menyuruh seseorang membawakan minum. Yang lain berusaha meminta bantuan lewat telepon.
            Dan tibalah di saat Mala meronta-ronta kesakitan, menangis, mencoba menarik nafasnya kembali, dan gagal, di situ lah kami sadar ada sesuatu yang sedang tak beres, Mala kesurupan. Aku ingin menangis, menangis sejadi-jadinya, tapi aku takut raga yang lemah akan mengundang sesuatu yang buruk terjadi pula padaku. Kualihkan dengan membantu Mala mengucap istigfar. Lagi dan lagi.
            Handpone Mala berdering, ia mencoba mengangkatnya, bercerita pada orang tuanya, tapi ia kesulitan. Kuraih handponenya dan menjelaskan kepada orang tuanya. Beliau begitu tenang, seolah takkan terjadi apa-apa pada anaknya. Entah setelah itu mungkin yang ia rencanakan untuk membantu anaknya, tapi ia sama sekali tak mengatakannya padaku. Aku tak bisa berharap dari diam orang tuanya.
            Tak lama setelahnya, datanglah k’tajrim membawa freshcare dan air minum. Rasanya sudah sejam kami dalam kondisi yang sama. Mala yang sedari tadi berusaha menarik nafasnya kini memuntahkan sesuatu untuk kedua kalinya, namun aku tak berani melihat apa yang dimuntahkannya. Setelah muntah yang kedua itu, ia sedikit lebih baik. Pelan-pelan ia bernafas, mengambil posisi duduk dan meminta segera meninggalkan tempat itu. Ia begitu tergesa. Ada apa? Biarlah pertanyaan itu hanya aku yang tau.
            Untuk sebuah perjanjian kami melanjutkan perjalanan. Setiap sepuluh anak tangga, kita kembali beristirahat. Dan itulah yang kami lakukan untuk beberapa kali. Meskipun tak seteratur 10 anak tangga itu. setidaknya kami sudah bisa move on.
            Aku masih terus berharap akan ada pertolongan yang datang menjemput. melepaskan papahan Mala dariku dan k’Aish. Mengngat badan Mala yang mungkin belum seimbang jika badanku dan k’ Aish digabungkan, aku takut sesuatu yang lebih buruk terjadi. Apalagi dengan medannya hanya seluas anak tangga ini, harus kami lalui dalam kondisi tiga orang berdampingan. Bagaimana jika salah satu di antara kami tak bisa menahan Mala ketika tiba-tiba tak sadarkan diri. Jangan, jangan dibayangkan Isma.
            Datanglah bala bantuan dari atas sana. Tiba-tiba mengambil alih Mala dari papahan kami, beliau ternyata  om Mala dan seorang temannya. Alhamdulillah, seandainya tak ada mereka mungkin masih butuh waktu dua jam untuk sampai ke atas. Ya Allah trima kasih.
“Allah tak akan menguji hambanya di luar batas kemampuannya,” sambut Aris.     
            Begitulah pahit, manis, asam, manis, kecut, dan getir ekspedisi 8 cm kami. Sungguh pengalaman yang menakjubkan. Seandainya Mala tiiiiiiiiiit di bawah sana, apa yang akan terjadi pada FLP Unhas? Trima kasih, trima kasih untuk hari ini ya Allah ya Allah. Kami bisa kembali dalam jumlah yang sama.

1 komentar:

  1. baru bs kurasakan detail kecemasanx. dan kronologis kjadianx. dr kmrin yg kudengar cm crita spotong2..;

    BalasHapus