Kuharap
ini menjadi yang pertama sekaligus terakhir aku menginjakkan kaki di Air Terjun
Bulan ini. Bukan karena aku tak mau lagi melihat keindahannya, Hanya saja
seribu anak tangga itu, oh begitu panjang dan terjal. Selalu ada kekhawatiran
untuk setiap langkah. Bagaimana jika ada yang terkilir? Bagaimana jika kaki-kaki
mereka keram dan tak bisa melanjutkan perjalanan? Bagaimana jika ada yang terpeleset?
bagaimana jika ada yang pingsan karena kecapean? Bagaimana jika ada di antara
mereka yang berpenyakit asma dan tiba-tiba kambuh tanpa ada obat yang bisa
digunakan? Bagaimana jika.................
Ah,
untung saja semua itu tidak terjadi dalam perjalanan kami, perjalanan panjang
di seribu anak tangga. Tapi tunggu, ini belum berakhir, aku masih belum bisa menanggalkan
kecemasanku. Masih ada perjalanan pulang, kita akan kembali melewati seribu
anak tangga itu, dan kali ini kita akan mendaki. Oh tak bisa kubayangkan.
Kuloncati
batu sungai yang berukuran kecil satu demi satu. Lalu kupanjati batu yang
ukurannya lebih besar untuk bisa mengabadikan setiap momen di tempat indah ini.
Kelak suatu saat aku akan bercerita tentang hari ini sambil menatap setiap
gambar yang bisa kuabadikan. Aku tak mau kehilangan kesempatan.
Kupandangi
kesibukan para peserta TOWR, menikmati aroma alam sembari duduk meramu
imajinasinya dalam carikan kertas. Inilah TOWR yang paling keren.
Gemuruh
tumpahan air, gelak tawa, motret kanan, motret kiri, melompat, berlari,
berenang, menulis, berpikir, terdiam, bercerita, berhayal, bersama, bersatu, berjaya
*hiihihi sospol banget.
Saat
semua sibuk dengan urusannya masing-masing, muncullah Genta (Aris) memberikan peringatan
untuk segera bergegas. Waktu mengisyaratkan kami untuk segera meninggalkan
tempat ini. Masih ada agenda lain yang harus diselesaikan.
Kulirik
penunjuk waktu di handponeku. Tepat 11.31 semua rombongan telah meninggalkan
Air Terjun. “selamat tinggal...” teriakku. Rombonganku adalah rombongan
terakhir yang meninggalkan air terjun. Rombongan panitia yang narsis. Sebut
saja rombongan kami adalah rombongan 8 cm, kami berjumlah 8 orang. Aku, Nunu’,
K’Jum, Batara, Memet, Ahmad, Oci’, dan juga Aris. Tuhan telah menakdirkan
kebersamaan kami dalam rombongan ini. Yah, ini bukan kebetulan. Jika seandainya
terjadi apa-apa dengan peserta di depan sana, insya Allah kami yang akan
menolongnya. Kami tim penolong dan penyelamat, untuk sementara anggaplah
demikian.
![]() |
Rombongan 8 cm |
Cerita
yang tak kunjung usai serta tawa yang tak kunjung berhenti sesungguhnya akan
menambah pemborosan tenaga. Namun tak ada yang bisa terdiam. Keriuhan mulai
meredah saat kami menemukan satu rombongan di depan kami. Rombongan yang
dipandu oleh k’dewi dan k’ Aish. Suasana yang aku tak bisa menyebutnya sebuah
kesahajaan atau sebuah ketakutan atau malah sebuah kecemasan. Yah kecemasan. Di
antara tawa dan cerita tadi aku hampir tidak merasakan kecemasan itu lagi. Namun
kini kecemasan itu menyerangku dalam serangan yang cukup kuat.
Aku menyadari bahwa belum terlalu
jauh kami meninggalkan air terjun itu. artinya masih ratusan anak tangga yang
akan kami daki. Dan sekarang Mala, salah satu peserta kini duduk tertunduk
mencoba melawan sebuah kesakitan. Dalam diam ia bercucuran air mata menahan
kesakitannya.
![]() |
Ini Mala, Jika bukan dia, tak lengkap kisah ekspedisi kita |
Beberapa menit beristirahat, ia
mencoba meyakinkan kami untuk segera melanjutkan perjalanan. Mendaki, lagi dan
lagi. Mungkin baru sekitar dua puluh anak tangga, Mala mencoba melawan kesakitan itu lagi, kami
semua terduduk, mencoba memberikan semangat pada Mala. Kupijiti punggungnya.
Aku ketakutan. Ya Allah, di tengah hutan seperti ini tak ada yang bisa kami
lakukan.
“kambuh
asmaku k’...”
Ia
mencoba menarik nafas, lagi, lagi, dan lagi. Dengan tergesa dicobanya lagi tapi
tak berhasil. Perjuangannya begitu keras, tak ada yang bisa membantunya menarik
nafas kecuali dirinya sendiri. Tak ada minyak kayu putih, minyak angin, minyak
gosok, inhyren, balsem, dan segala jenis minyak-minyakan yang kami punya. Keadaan
ini berlangsung lama. Kalang kabut, semua panitia yang ada di sana tak bisa
berbuat apa-apa kecuali berusaha membisikkan
istigfar, membacakan ayat-ayat alqur’an, menenangkannya, memijiti punggungnya. Sungguh
hanya itu yang bisa kami lakukan.
Sekitar 20 menit kami dalam kondisi
terkunci, masih tak seorang pun yang bisa memberikan bantuan. Dalam hati aku
memikirkan hal yang tidak-tidak. Kucoba kutepis namun tak bisa. Apa yang akan
terjadi dengan anak ini di tengah hutan ya Allah. Medan tempat membaringkannya
pun bukanlah medan yang rata, sekarang kami ada di atas anak tangga dengan
kemiringan sekitar 45 derajat. Kemiringan ini masih cukup menguntungkan bagi
kami untuk bisa membaringkan Mala.
Peserta yang lain kami biarkan
berlalu, termasuk Nunu’ yang tadi bersama kami. Dan sekarang hanya ada 3
perempuan dan beberapa panitia laki-laki yang tida kutahu pasti jumlahnya. Yang
kutahu adalah hanya kami bertiga yang bisa memegang dan meng-ini-itukan Mala,
yang lain hany bisa memberikan aba-aba. Kami usahakan tetap berada di koridor
agama. Tak bersentuhan antara perempuan dan laki-laki. Begitulah FLP. Seandainya
sekarang adalah pengkaderan himpunan dan segala macamnya, tak ada aturan ini
yang berlaku. Meskipun ini agak memberatkan kami bertiga dengan bodi
mungil-mungil ini (*sok mungil) sementara Mala dengan ukuran yang lebih XL,
namun tak menyurutkan semangat kami untuk bisa menahan mala dalam pangkuan yang
tak bisa kujelaskan lagi. Aku kesakitan, tanganku keram menahan kepalanya. Aku
dan k’aish.
K’Jum mencoba ke atas untuk meminta
pertolongan, membawakan sesuatu yang bisa dihirup, menyuruh seseorang membawakan
minum. Yang lain berusaha meminta bantuan lewat telepon.
Dan tibalah di saat Mala
meronta-ronta kesakitan, menangis, mencoba menarik nafasnya kembali, dan gagal,
di situ lah kami sadar ada sesuatu yang sedang tak beres, Mala kesurupan. Aku
ingin menangis, menangis sejadi-jadinya, tapi aku takut raga yang lemah akan
mengundang sesuatu yang buruk terjadi pula padaku. Kualihkan dengan membantu Mala
mengucap istigfar. Lagi dan lagi.
Handpone Mala berdering, ia mencoba
mengangkatnya, bercerita pada orang tuanya, tapi ia kesulitan. Kuraih
handponenya dan menjelaskan kepada orang tuanya. Beliau begitu tenang, seolah
takkan terjadi apa-apa pada anaknya. Entah setelah itu mungkin yang ia
rencanakan untuk membantu anaknya, tapi ia sama sekali tak mengatakannya
padaku. Aku tak bisa berharap dari diam orang tuanya.
Tak lama setelahnya, datanglah k’tajrim
membawa freshcare dan air minum. Rasanya sudah sejam kami dalam kondisi yang
sama. Mala yang sedari tadi berusaha menarik nafasnya kini memuntahkan sesuatu
untuk kedua kalinya, namun aku tak berani melihat apa yang dimuntahkannya. Setelah
muntah yang kedua itu, ia sedikit lebih baik. Pelan-pelan ia bernafas,
mengambil posisi duduk dan meminta segera meninggalkan tempat itu. Ia begitu
tergesa. Ada apa? Biarlah pertanyaan itu hanya aku yang tau.
Untuk sebuah perjanjian kami
melanjutkan perjalanan. Setiap sepuluh anak tangga, kita kembali beristirahat. Dan
itulah yang kami lakukan untuk beberapa kali. Meskipun tak seteratur 10 anak
tangga itu. setidaknya kami sudah bisa move
on.
Aku masih terus berharap akan ada
pertolongan yang datang menjemput. melepaskan papahan Mala dariku dan k’Aish.
Mengngat badan Mala yang mungkin belum seimbang jika badanku dan k’ Aish
digabungkan, aku takut sesuatu yang lebih buruk terjadi. Apalagi dengan
medannya hanya seluas anak tangga ini, harus kami lalui dalam kondisi tiga orang
berdampingan. Bagaimana jika salah satu di antara kami tak bisa menahan Mala
ketika tiba-tiba tak sadarkan diri. Jangan, jangan dibayangkan Isma.
Datanglah bala bantuan dari atas
sana. Tiba-tiba mengambil alih Mala dari papahan kami, beliau ternyata om Mala dan seorang temannya. Alhamdulillah,
seandainya tak ada mereka mungkin masih butuh waktu dua jam untuk sampai ke
atas. Ya Allah trima kasih.
“Allah
tak akan menguji hambanya di luar batas kemampuannya,” sambut Aris.
Begitulah pahit, manis, asam, manis,
kecut, dan getir ekspedisi 8 cm kami. Sungguh pengalaman yang menakjubkan. Seandainya
Mala tiiiiiiiiiit di bawah sana, apa yang akan terjadi pada FLP Unhas? Trima
kasih, trima kasih untuk hari ini ya Allah ya Allah. Kami bisa kembali dalam
jumlah yang sama.
baru bs kurasakan detail kecemasanx. dan kronologis kjadianx. dr kmrin yg kudengar cm crita spotong2..;
BalasHapus