Ini
bukanlah awal cerita di antara kami. Kukenal ia sejak duduk di bangku SMA dulu,
tahun ini adalah tahun keenam kami bersama. Kebiasaan untuk tertawa seperti itu
barulah kusadari sejak dua tahun terakhir ini. Entah apa yang membuatnya begitu
geli dengan cerita-cerita teman ataupun senior-senior kami yang kadang hampir
semua orang menilainya tak lucu. Di SMA dahulu kukenal ia adalah seorang yang
jarang berbicara. Wataknya keras, begitulah yang kutahu meskipun kami tak
begitu dekat saat itu, namun sekelas selama tiga tahun dengannya cukuplah untuk
memberikan penilaian terhadapnya. Dan kini program studi Komunikasi telah
mempertemukan kami kembali. Beginilah Aish dua tahun belakangan. Mungkin orang
yang tak betul-betul mengenalnya akan mengatakan ia tak punya selera humor,
apapun ia tertawakan. Bahkan jika ingin tak dikatai garing, meluculah di depan
Aish maka tak ada leluconmu satupun yang akan dinilai garing olehnya.
Sejak
tiga tahun di Komunikasi, aku menjadi salah satu teman terdekatnya. Namun
setahun belakangan kami terpisah dalam pembagian konsentrasi prodi. Aku memilih
Public Relation dan Aish memilih Jurnalistik. Aku memang sengaja menghindari
Jurnalistik, karena untuk berada di sana akan membutuhkan tenaga ekstra untuk
selalu menjalankan tugas-tugas liputan. Namun tidak baginya, menurutnya itulah
tantangan. Ia memang wanita yang sangat menyukai tantangan. Aish sangat
menikmati kuliahnya di Jurnalistik selama setahun belakangan ini.
Kami
semua menyayanginya. Ia sosok yang selalu ceria.
**
“kalau
saya ingat-ingat, waktu SMA dulu kau tidak seperti ini. Maksudku, ketawamu.
Lucu tidak lucu pasti kau ngakak, jangan-jangan kau gila, Ay.” Candaku suatu
sore.
“Saya
juga bingung, saya merasa semakin tidak bisa mengontrol tawaku.”
“memang
tidak bisa dipungkiri, senior-senior kita gokil semua. Tapi sepertinya kau
tetap perlu memeriksakan diri ke Rumah Sakit Dadi, Ay. Haha”
“wah,
kau gila. Tidak mungkin saya tidak waras. Biarkanlah saya seperti ini, mungkin
suatu saat nanti saya akan jenuh. Dari pada saya murung? Kau pilih mana?
Tugas-tugas liputanku sudah cukup menguras tenaga. Kita memang selalu butuh
refreshing.
“betul
juga, tertawalah selagi kau bisa.”
Senja kemudian membawa kami dalam
diam. Aku tak mau melanjutkan ejekanku padanya, aku tahu ia sangat menyukai
senja. Setiap sore ia akan menyempatkan diri untuk melihat senja selama tak ada kegiatan
penting. Dan tahukah ia, dirinya seperti senja. Keceriaannya memberikan
keindahan untuk orang-orang disekitarnya. Senyum manisnya adalah semburat merah
pelengkap keindahan wajahnya. Begitulah senja begitu indah untuk orang-orang
yang selalu ingin menatapnya, namun kuharap senja kami ini akan selalu menjadi
senja tanpa kenal waktu, tak seperti senja yang sesungguhnya, hanya akan muncul
disaat matahari jenuh menyinari bumi. Maka di saat matahari akan beristirahat,
di sanalah letak keindahannya.
**
Ceritakan padaku apa yang kau
rasakan, kawan. Jangan memendam kekesalan yang kau rasakan. Jangan
menyembunyikan kesesakan yang kau rasakan. Berbagilah, aku akan mendengarnya.
Tak
akan jenuh aku bercerita tentang sahabat senjaku ini, karena sekali lagi aku
menyayanginya. Kulihat pagi ini matanya sembab. Bibirnya enggan berkata.
Sepatah pun. Kapanpun ia bersedih, akan terlihat begitu gampang, tawanya tak
akan segurih biasanya. Mungkin tak perlu kuganggu, ia akan bercerita disaat ia
mau. Mungkin masih dengan masalah yang sama. Kedua orang tuanya memang tak
pernah sejalan. Begitulah ia setiap kali terjadi pertengkaran hebat kedua orang
tuanya.
Meskipun
Aish begitu menyayangi kedua orang tuanya, tak pernah sedikit pun ia
menunjukkan rasa peduli saat perhelatan mereka. ia memilih meninggalkan mereka,
mencoba untuk tidak peduli dengan hal-hal yang hanya bisa membuatnya bersedih,
namun tetap saja ia akan bersedih.
Saat
merasa lega dan bisa sedikit melupakan masalahnya, ia akan kembali bergabung
bersama kami, bercanda bersama, seolah tanpa masalah. Senja itu datang lagi.
Memekarkan senyum manisnya. Wanita yang sangat tegar. Kami menyayangimu.
“Jurnal
ada tugas liputan investigasi. Ada yang mau nyumbang ide’?” ucapnya tiba-tiba.
Ia memang lebih baik pusing karena tugas, daripada pusing dengan masalah yang
hanya bisa membuatnya bersedih.
“Gimana
kalau tentang kebenaran berita edisi bulan lalu terbitan Koran Cakra, Ay.
Tentang berita yang katanya pembangunan GOR itu adalah gelagat Korupsi rektor
kita. Bukannya kamu bilang, penelusurannya tidak begitu mendalam. Skalian saja
pakai ID persmu. Hitung-hitung untuk menguji ketajaman naluri kewartawananmu
kan.” Rini menawarkan ide.
“wah,
boleh juga.”
Bukan
Aish jika ia tak menyukai tantangan. Berita yang dibacanya beberapa waktu lalu
memang menarik minatnya untuk melakukan investigasi itu. lagi pula perusahaan
pemenang tender proyek itu adalah perusahaan jasa kostruksi milik ayahnya.
Tentu saja ayahnya lah yang dirugikan dalam hal ini. Rektor yang tiba-tiba saja
memutuskan hubungan kerja sama dengan perusahaan ayahnya tentu saja memunculkan
sejuta tanya dalam benak banyak pihak. Ia semakin bersemangat.
**
Sudah
tiga hari Aish jarang menampakkan batang hidungnya, bukan karena ia tak ke
kampus, namun karena seusai kuliah ia kemudian berlalu untuk menyelesaikan
tugas investigasi itu. Tugasnya kali ini benar-benar memakan waktu
istirahatnya. Namun, sekali lagi bukan Aish jika ia akan menyerah begitu saja.
Senja kami kuat.
Hingga di hari kelima. Wajahnya
pucat tak karuan. Kantung matanya semakin jelas. Ada apa? Pikirku dalam.
Mungkinkah masih karena tugas itu? Dipegangnya hasil liputan investasinya
dengan semangat yang tak seperti biasanya. Ia begitu layu. Kemudian tersenyum.
Senyum yang tak biasa.
Kuraih lembaran kertas itu. kubaca
kata demi kata, lembar demi lembar. Kerja yang mengesankan, sangat mengesankan
bagiku. Tapi sayang, inilah kenyataannya. Kenyataan liputan yang sama sekali
berbeda dengan edisi yang dibacanya di salah satu Koran kampus beberapa waktu
lalu. Ayahnyalah penyebab kejanggalan yang tercium. Hanya untuk menghancurkan
reputasi rektor yang sedari dulu dimusuhinya. Dan inilah kenyataannya.
Hari demi hari senjaku tak lagi
ceria. Dua hari yang lalu ibunya meninggal karena strok. Kondisinya kini tak
lagi biasa.
**
Sudah
kubilang, ia adalah sosok yang ceria. Akan selalu tertawa. Hanya saja itu tak
seperti senjaku. Senyumnya, tawanya. Semuanya tak biasa. Tawa yang tak biasa,
dan hampir tanpa jeda. Maafkan aku senja, mungkin mobil putih dan wanita-wanita
berpakaian putih ini akan membawamu ke tempat dimana seharusnya kau berada. Beristirahatlah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar