Jumat, 07 Desember 2012

Senyum Senja

           Tawanya melenting. Ini adalah yang kesekian kalinya. Sedari tadi semenjak kami yang sedang tak punya kesibukan berkumpul di tempat ini tawanyalah yang paling terdengar jelas di antara kami. Bahkan hal yang tak lucu menurut kami pun ia tertawai sejadi-jadinya, begitulah ia setiap hari. Di tempat ini, tempat yang paling sering menjadi tempat bertengger tiap kali tak ada kuliah. Tempat yang kami gunakan hanya untuk sekedar ngalor ngibul bersama teman-teman. Tempat yang menjadi saksi betapa telah tercipta kebersamaan yang begitu lekat diiringi canda tawa di antara kami, juga saksi betapa ceria teman wanita kami yang satu ini. Aish. Begitulah ia mengisi hari-harinya.

Ini bukanlah awal cerita di antara kami. Kukenal ia sejak duduk di bangku SMA dulu, tahun ini adalah tahun keenam kami bersama. Kebiasaan untuk tertawa seperti itu barulah kusadari sejak dua tahun terakhir ini. Entah apa yang membuatnya begitu geli dengan cerita-cerita teman ataupun senior-senior kami yang kadang hampir semua orang menilainya tak lucu. Di SMA dahulu kukenal ia adalah seorang yang jarang berbicara. Wataknya keras, begitulah yang kutahu meskipun kami tak begitu dekat saat itu, namun sekelas selama tiga tahun dengannya cukuplah untuk memberikan penilaian terhadapnya. Dan kini program studi Komunikasi telah mempertemukan kami kembali. Beginilah Aish dua tahun belakangan. Mungkin orang yang tak betul-betul mengenalnya akan mengatakan ia tak punya selera humor, apapun ia tertawakan. Bahkan jika ingin tak dikatai garing, meluculah di depan Aish maka tak ada leluconmu satupun yang akan dinilai garing olehnya.

Sejak tiga tahun di Komunikasi, aku menjadi salah satu teman terdekatnya. Namun setahun belakangan kami terpisah dalam pembagian konsentrasi prodi. Aku memilih Public Relation dan Aish memilih Jurnalistik. Aku memang sengaja menghindari Jurnalistik, karena untuk berada di sana akan membutuhkan tenaga ekstra untuk selalu menjalankan tugas-tugas liputan. Namun tidak baginya, menurutnya itulah tantangan. Ia memang wanita yang sangat menyukai tantangan. Aish sangat menikmati kuliahnya di Jurnalistik selama setahun belakangan ini.
Kami semua menyayanginya. Ia sosok yang selalu ceria.
**
“kalau saya ingat-ingat, waktu SMA dulu kau tidak seperti ini. Maksudku, ketawamu. Lucu tidak lucu pasti kau ngakak, jangan-jangan kau gila, Ay.” Candaku suatu sore.
“Saya juga bingung, saya merasa semakin tidak bisa mengontrol tawaku.”
“memang tidak bisa dipungkiri, senior-senior kita gokil semua. Tapi sepertinya kau tetap perlu memeriksakan diri ke Rumah Sakit Dadi, Ay. Haha”
“wah, kau gila. Tidak mungkin saya tidak waras. Biarkanlah saya seperti ini, mungkin suatu saat nanti saya akan jenuh. Dari pada saya murung? Kau pilih mana? Tugas-tugas liputanku sudah cukup menguras tenaga. Kita memang selalu butuh refreshing.
“betul juga, tertawalah selagi kau bisa.”
            Senja kemudian membawa kami dalam diam. Aku tak mau melanjutkan ejekanku padanya, aku tahu ia sangat menyukai senja. Setiap sore ia akan menyempatkan diri untuk  melihat senja selama tak ada kegiatan penting. Dan tahukah ia, dirinya seperti senja. Keceriaannya memberikan keindahan untuk orang-orang disekitarnya. Senyum manisnya adalah semburat merah pelengkap keindahan wajahnya. Begitulah senja begitu indah untuk orang-orang yang selalu ingin menatapnya, namun kuharap senja kami ini akan selalu menjadi senja tanpa kenal waktu, tak seperti senja yang sesungguhnya, hanya akan muncul disaat matahari jenuh menyinari bumi. Maka di saat matahari akan beristirahat, di sanalah letak keindahannya.
**
            Ceritakan padaku apa yang kau rasakan, kawan. Jangan memendam kekesalan yang kau rasakan. Jangan menyembunyikan kesesakan yang kau rasakan. Berbagilah, aku akan mendengarnya.
Tak akan jenuh aku bercerita tentang sahabat senjaku ini, karena sekali lagi aku menyayanginya. Kulihat pagi ini matanya sembab. Bibirnya enggan berkata. Sepatah pun. Kapanpun ia bersedih, akan terlihat begitu gampang, tawanya tak akan segurih biasanya. Mungkin tak perlu kuganggu, ia akan bercerita disaat ia mau. Mungkin masih dengan masalah yang sama. Kedua orang tuanya memang tak pernah sejalan. Begitulah ia setiap kali terjadi pertengkaran hebat kedua orang tuanya.
Meskipun Aish begitu menyayangi kedua orang tuanya, tak pernah sedikit pun ia menunjukkan rasa peduli saat perhelatan mereka. ia memilih meninggalkan mereka, mencoba untuk tidak peduli dengan hal-hal yang hanya bisa membuatnya bersedih, namun tetap saja ia akan bersedih.
Saat merasa lega dan bisa sedikit melupakan masalahnya, ia akan kembali bergabung bersama kami, bercanda bersama, seolah tanpa masalah. Senja itu datang lagi. Memekarkan senyum manisnya. Wanita yang sangat tegar. Kami menyayangimu.
“Jurnal ada tugas liputan investigasi. Ada yang mau nyumbang ide’?” ucapnya tiba-tiba. Ia memang lebih baik pusing karena tugas, daripada pusing dengan masalah yang hanya bisa membuatnya bersedih.
“Gimana kalau tentang kebenaran berita edisi bulan lalu terbitan Koran Cakra, Ay. Tentang berita yang katanya pembangunan GOR itu adalah gelagat Korupsi rektor kita. Bukannya kamu bilang, penelusurannya tidak begitu mendalam. Skalian saja pakai ID persmu. Hitung-hitung untuk menguji ketajaman naluri kewartawananmu kan.” Rini menawarkan ide.
“wah, boleh juga.”
Bukan Aish jika ia tak menyukai tantangan. Berita yang dibacanya beberapa waktu lalu memang menarik minatnya untuk melakukan investigasi itu. lagi pula perusahaan pemenang tender proyek itu adalah perusahaan jasa kostruksi milik ayahnya. Tentu saja ayahnya lah yang dirugikan dalam hal ini. Rektor yang tiba-tiba saja memutuskan hubungan kerja sama dengan perusahaan ayahnya tentu saja memunculkan sejuta tanya dalam benak banyak pihak. Ia semakin bersemangat.
**
Sudah tiga hari Aish jarang menampakkan batang hidungnya, bukan karena ia tak ke kampus, namun karena seusai kuliah ia kemudian berlalu untuk menyelesaikan tugas investigasi itu. Tugasnya kali ini benar-benar memakan waktu istirahatnya. Namun, sekali lagi bukan Aish jika ia akan menyerah begitu saja. Senja kami kuat.
            Hingga di hari kelima. Wajahnya pucat tak karuan. Kantung matanya semakin jelas. Ada apa? Pikirku dalam. Mungkinkah masih karena tugas itu? Dipegangnya hasil liputan investasinya dengan semangat yang tak seperti biasanya. Ia begitu layu. Kemudian tersenyum. Senyum yang tak biasa.
            Kuraih lembaran kertas itu. kubaca kata demi kata, lembar demi lembar. Kerja yang mengesankan, sangat mengesankan bagiku. Tapi sayang, inilah kenyataannya. Kenyataan liputan yang sama sekali berbeda dengan edisi yang dibacanya di salah satu Koran kampus beberapa waktu lalu. Ayahnyalah penyebab kejanggalan yang tercium. Hanya untuk menghancurkan reputasi rektor yang sedari dulu dimusuhinya. Dan inilah kenyataannya.
            Hari demi hari senjaku tak lagi ceria. Dua hari yang lalu ibunya meninggal karena strok. Kondisinya kini tak lagi biasa.
**
Sudah kubilang, ia adalah sosok yang ceria. Akan selalu tertawa. Hanya saja itu tak seperti senjaku. Senyumnya, tawanya. Semuanya tak biasa. Tawa yang tak biasa, dan hampir tanpa jeda. Maafkan aku senja, mungkin mobil putih dan wanita-wanita berpakaian putih ini akan membawamu ke tempat dimana seharusnya kau berada. Beristirahatlah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar