Minggu, 27 Oktober 2013

PEREMPUAN TANA LE'LENG.

Di depan pintu gerbang Tana Toa aku berhenti.  Mataku terpaku ke gerbang tua itu. Dan aku tahu aku melakukan itu bukan karena gerbang itu sangat menarik hatiku. Aku tumbuh di sekitar tempat ini. Aku bermain di sekitar tempat ini.
       Mataku tertuju ke sana tapi aku seolah tak melihatnya. Mataku hanya  menghindari mata orang-orang yang berpapasan denganku. Aku kenal mereka. Tapi mereka seolah tak melihatku. Bahkan ada yang meludah.
      "Anak songka!" sekali sekali kudengar di antara mereka berkata. Tak takut. Tak peduli mereka tahu aku mendengarnya.
        Aku mengeluh. Aku bertanya pada kakiku. Apakah aku akan terus melangkah ke sana?
       Sudah berapa tahun. Dua ataukah tiga. Ataukah lima tahun aku meninggalkannya? Seolah baru kemarin, saat di suatu malam aku mengendap-endap ke luar dari pintu gerbang itu. Hanya berbekal hati yang marah. Hati yang kesal. Hati yang nekad. Tanpa restu bapakku, yang mungkin malah memberiku sumpah serapah dan kutukan. Tanpa uang tanpa bekal, kecuali hasil patekko-ku selama bertahun-tahun.  “Di dunia luar itu harganya ratusan ribu, Ita,“ kata tetangga-tetangga. Aku percaya. Dan aku yakin berbekal itu semua aku akan bisa hidup bebas.
       Hidup bebas?  Aku merindukan itu. Bapakku tokoh di sini, seorang pemangku adat, dan sehari-hari orang menghormatiku, menghormati keluargaku. Tapi itu malah bagaikan penjara bagiku. Aku ingin bebas! Aku ingin menikmati dunia di luar Tana Toa, aku ingin  merasakan hidup seperti si Iski, si Ina atau si Atun yang bebas belajar di kota. Ah. Aku begitu iri pada mereka yang berasal dari keluarga biasa, tak terlalu terkekang adat.