Jumat, 05 Februari 2016

KMGP, Framing Dakwah dan Idealisme Penulis



Gita gadis periang yang tomboy, selalu bangga pada Mas Gagah, abang yang menurutnya nyaris sempurna. Gagah baik, tampan, cerdas dan modern. Sejak Papa meninggal, Gagah sembari kuliah, membantu Mama jadi tulang punggung keluarga. Untuk penelitian skripsinya, Gagah pergi ke Ternate, tetapi setelah Gagah pulang dari Ternate, Gita terkejut karena abangnya itu berubah sama sekali! Gagah sangat bersemangat menjalankan ajaran Islam, dan kerap menasihati Gita untuk menjalankan perintah-perintah agama. Gita mulai “memusuhi” Gagah. Meski dimusuhi Gita, Gagah pantang menyerah. Ia terus berusaha mendekati Gita dan Mama, mengajak dua orang yang ia cintai itu untuk lebih mengenal Islam. “Islam itu indah. Islam itu cinta,” adalah hal yang selalu disampaikan Gagah pada Gita. 

Pertama kali membaca buku Ketika Mas Gagah Pergi (KMGP), seolah saya membayangkan kedua kakak beradik itu adalah diri saya sendiri dan kakak saya. Pada satu kondisi ini saya merasa menjadi sangat dekat dengan cerita KMGP. Wajar jika saya menitikkan air mata pada beberapa bagian saat membaca bukunya.
Hingga pada akhirnya cerita KMGP berwujud film, tak mau ketinggalan saya menonton di hari pertama pemutaran. Mesti dong saya menonton film yang konon ceritanya sudah beberapa kali ditawari untuk difilmkan oleh beberapa production house, namun sang penulis menolak. Mengapa penulis menolak? Sebab alasan idealisme.
Karakter Gagah yang digambarkan di dalam buku memang adalah sosok yang baik, cerdas, dan teladan. Sang penulis, Helvy Tiana Rosa (selanjutnya disingkat HTR) tidak ingin keteladanan Gagah hanya sekedar dalam buku dan film saja, namun juga dalam kehidupan nyata. Hal ini membuat saya penasaran dengan sosok Hamas. Setelah mencari informasi, rupanya sosok Hamas Syahid Izzuddin adalah seorang penghafal alquran dan mencintai dakwah, wajar saja HTR memilih sosok Hamas untuk memerankan tokoh Gagah. 

Jumat, 01 Januari 2016

New Year Eve (2016), Masjid Raya dan Kembang Raya Semalaman

Sejak petang dimulai, euforia beriring. Petasan dan kembang api berdentum dimana-mana. Nampaknya semua orang sedang merayakan malam pergantian tahun.

Hampir saja aku salah satunya. Bukan untuk merayakan, hanya sekadar ingin menikmati indahnya mekar kembang-kembang melangit. Sore tadi sudah ada beberapa rencana pertemuan dengan teman kantor. Nanti malam ketemu di De Sushi yah!

Rencana pertama, batal. Salah seorang teman yang adalah pemilik traktiran kedatangan orang tuanya dari kampung halaman. Tak ada sushi malam ini. Lalu, aku dan dua orang teman (Kak Uniesa dan Wana) memutuskan jalan bertiga saja malam ini. Sebab sore sudah sedemikian larut dan jelang petang, lebih baik masing-masing kami kembali untuk bersih-bersih dan dandan cantik J. Saat sudah siap dan sudah cantik (narsis), Wana tiba-tiba berkabar, “Kak, sepertinya saya batal ikutan jalan malam ini, badan serasa remuk semua. Mau istirahat saja.”

Baiklah, gagal pula rencana kedua, sebab tak ada tempat tujuan jelas dan Wana juga membatalkan. “Mungkin bagusnya kita ke masjid saja”, candaku pada kak Uniesa via BBM. Memang awalnya hanya bercanda. Aku memutuskan untuk melihat-lihat saja sekeliling sambil menikmati kembang-kembang yang bertebaran di langit, namun hati rupanya tak menerima candaan. Aku berpaling ke masjid Raya sekitar pukul 7.30.

Langit dari sini lebih luas untuk melihat kembang api jika mau, halaman masjid memang luas, tepat sekali jika ingin melihat keindahan malam ini tanpa harus ke pantai losari bersesak-sesakan dengan banyak orang. Namun bukan itu tujuanku, sudah kuputuskan untuk berdiam di dalam masjid saja sembari tadarrusan. Mendekatkan diri pada Tuhan, merenungkan kesalahan-kesalahan yang telah lalu, paling tidak selama setahun dan berdoa semoga tahun depan lebih baik. Malam yang baik.