Minggu, 19 Oktober 2014

Untuk Sahabat Penyuka Kopi



 6/7/14 Larut malam, di bumi Qiabi
Hallo Sahabat baru, apa kabarmu? 
(Sebagaimana sapaan awalmu, aku pun ingin menyapa dengan cara yang sama.)

Oh iya, tentu aku harus menjawab pertanyaanmu. Aku baik-baik saja. Semoga kau pun di belahan bumi sana, yang mungkin sedang duduk menyeruput kopi di café baru langgananmu.
Maafkan, untuk balasan yang baru saja bisa kulunasi. Kesibukan telah banyak menyita waktu. Meski sebetulnya dan sebaiknya tak menjadikan itu alasan untuk tak kembali ke rumah. Tapi untuk kembali bergumul dengan keyboard rasa-rasanya aku hanya ingin beristirahat saja.

Tentang ulang tahun yang beroleh surat, ini menjadikannya jauh lebih istimewa dari tahun-tahun sebelumnya. Beroleh kejutan dan kue ulang tahun dari sahabat memang kebahagiaan tersendiri, tapi beroleh surat adalah kebahagiaan yang lain. Kalian, orang-orang yang berhasil memenuhi keingininanku, aku sangat meyakini bahwa kalian adalah orang-orang yang pandai merawat kebahagiaan orang lain.

Ulang tahunpun pernah sama sekali tak istimewa buatku. Kala masih kecil dahulu, aku bahkan tak mengenal apa itu ulang tahun. Baru saat duduk kelas tiga SD sepertinya aku baru mengetahui bahwa berulang tahun itu ternyata berulangnya tanggal dan bulan kelahiran kita. Miris skali yah. Tapi rasa-rasanya memang tak penting menjadikannya istimewa. Budayalah yang sebetulnya menyihirnya menjadi istimewa.

Orang tuaku memang tak pernah merayakannya. Mana ada perayaan ulang tahun di kampungku pada saat itu. Mereka bahkan sepertinya tak peduli dengan hari yang disebut ulang tahun itu. Bersama teman-temanlah, akhirnya aku mengenal keistimewaan pada akhirnya. Berkumpul dan merayakan dengan sangat sederhana kala SMP dahulu. Memanggil teman-teman dekat ke rumah demi bercengkrama seharian di dapur membuat bakwan dan keripik pisang, serta membuat rujak kedodong dan pepaya mengkal. Maklumlah, kami di kampung. Tapi itu menyenangkan, aku jadi merindukan mereka. Oh iya, nama kampungku, Bontotanga, mungkin kau pernah mendengarnya? Letaknya di Kecamatan Bontotiro, Kabupaten Bulukumba. Jika tidak, mungkin kau familiar dengan Bira. Dari sana, jaraknya sekitar 45menit hingga sejam.


Tentang hari ulang tahun lagi, mungkin kau pun pernah dilumuri terigu dan telur yang dipecahkan di atas kepala? Budaya yang juga tak bisa hilang saat itu. Aku ingat benar, pernah dikejar mati-matian oleh teman, saat aku berusaha menghindari beberapa butir telur yang hendak mereka layangkan di atas kepalaku. Hingga nafas ngo—ngosan tidak lagi mendukungku untuk menghindar dari mereka. Walhasil kepalaku serah pada telur dan terigu itu. Nyaris setiap tahun – pada tiga tahun di masa SMP, aku harus mengikhlaskan sepasang pakaianku di 22 Mei berbau amis hingga harus direndam hingga berkali-kali. Ah, menjijikkan, tapi wajib untuk dirindukan.

Sabtu, 05 Juli 2014

Surat Buat Kak Echa



Makassar 25 Mei 2014 (Dini Hari)
Untuk Sahabat…
Echa – yang sepertinya ‘kak Echa’ 


Hallo, Kak!
Gambarmu bagus. Sangat bagus. ^^
Oh iya, seperti janjiku, suratmu tidak akan pincang. Sayang sekali kau tak menuliskan alamat tempat tinggalmu. Semoga saja kau ada waktu untuk membaca surat yang sengaja kutempelkan di dinding rumahku ini.

Apapun alasanmu mengirimkan lukisan berbingkai hitam beserta suratmu, itu sangat manis. Bagaimana kalau kita bersepakat saja bahwa orang-orang yang rela mengirimkanku surat adalah orang yang manis. Percayalah, di zaman yang edan ini, hanya orang-orang yang manis yang rela meluangkan waktu untuk menuliskanku surat, terlebih melukiskan wajah anak yang juga manis (maksa).

By the way, suratmu cukup singkat. Dan akan kubalas pula dengan singkat, sebab sepertinya kau tak suka berbasa basi. Iya sepertinya, ini hanya tebakanku. Tentu saja aku sangat berterima kasih untuk tiga alasan kau menuliskan surat. Untuk alasan kau ingin menepati janji. Iya aku ingat benar, kita pernah berdebat (atau apapun kau ingin mengistilahkannya) tentang berkirim surat, dan kau berjanji akan menuliskan dan mengirimkannya. Ya, kau tepat janji.

Surat Untukmu, Mei-22 !



Seharusnya ini adalah postingan bulan Mei, yang bukan tentang kue ulang tahun dan kejutan, tapi tentang surat dari sahabat.

Hari yang nyaris selalu sibuk tak memberikan banyak luang untuk menceritakan banyak hal di Mei dan Juni. Apa kabarmu wahai para pengirim surat di bulan Mei?
**

Postingan April lalu tentang harapan beroleh surat di bulan Mei sebetulnya membuat sangsi. Adakah yang di hatinya terbetik keinginan untuk bersurat yang sesungguhnya? Ah, ingin saja pun itu sudah cukup. Hingga hari yang dinantikan tiba, keinginan yang menyata seumpama mencelupkan tangan ke dalam air lalu menangkap beberapa ekor ikan yang liar. Menyenangkan sekali, pasti.

Menerima beberapa pucuk surat di bulan Mei mencipta bahagia tak alang kepalang. Jika sahabat merasakannya di zaman sekarang, tentu saja ini jauh lebih membahagiakan dibandingkan menerima surat kala SMP dahulu. Pernah beroleh surat dari kakak senior kala SMP? Aku pernah.

Jika beroleh surat kala SMP hanya menjadikan dongkol berkecamuk karena merasa belum cukup umur untuk beroleh surat  merah jambu, kali ini tidak, ada kebahagiaan tersendiri melihat jenis coretan dan tinta yang berbeda – dan tentu bukan surat merah jambu, melainkan surat sahabat dengan aneka warna.

Hallo Mei-22. Ini hadiah untukmu. (Surat sahabat dan beberapa balasan)

Selasa, 13 Mei 2014

Kawanku, sayangku.

Kawanku,
lekas buka matamu.
Ulurkan jemarimu, Kita menari.
Meniup kabut yang disuguhkan langit.
Lebarkan pandang, bentangkan senyum.
Sapa senja di kaki laut.

Sayangku,
Kembangkan kepakmu.
Pandu kaki ke istana langit,
dendangkan kicaumu.
Biarkan beburung mencibir.
Kabarkan padanya, ihwal persangkaan kita pada bumi.
Kabarkan pula ihwal kekariban kita.
Biarlah segala penghuni awan mencemburui kita.
Bicarakan kerisauan kita pada simpang.

Ah, Saudariku,
Usah kau hitung detik bersisa,
Kelak, Jejak akan mengantarkan kita
pada rindu yang tertinggal.
Mari saling berkasih lewat pusaran doa pada Ilahi.
Jika nanti kepak tak membawa kita pada sua,
Biar doa titiannya.
Untuk Sahabat-Nenni Asriani

Senin, 12 Mei 2014

Kisah Basah Langit Semalam


Anyir kukecupi pagi.
Napasnya basah.
Sebab semalam langit berkisah air.
Sedari hari oranye kemarin, bintang lengah pada tugas.
Ah, kota mana lagi sedang berenang.

Dari mana datangnya dingin?
Sudah, Jangan berkilah,
Tentu saja ia bayi dari kisah langit semalam.
Hirup kembali napas pagi.
Berbahagialah, hujan bersisa satu.
Ia berkekasih pada dingin.
Jangan lagi menarik selimut.

Buka berita pagi ini.
Lihat!
Saudara kita berlomba mematung di kepala lemari.
Meminta air lekas henti menggenangi ruang tamu.
Lekas lipat selimutmu.

Minggu, 11 Mei 2014

Tuan, Kemarilah!

Tuan, kemarilah.
Duduklah bersamaku.
Hendak kututurkan risauku.
Setelah itu, izinkan mata membuka puisi pada jiwa yang lain.
Berbubuh materai dan tanda tanganmu.

Sejak lepas tatapmu pada bunga berpadu merah muda dan putih
yang katamu indah,
kau puja ia dengan sanjungan.
Petik dan tanam kembali.
Lalu kau menjadi tuan.
Ia kau puja, pun ia memuja dikau.
Aku si merah muda.
Masih hidup dalam puisimu.
Putih, katamu ia telah gugur.

Lalu, kuputuskan aku kelana.
Ingin dikau kubuat mati.
Bukit, padang pasir, aliran air yang panjang,
langit, padang rumput, samudera, belantara,
kujajaki demi mencari puisiku yang kusangka bukan kau.
Entah pada jejak mana kau alpa.
Kau ada pada seluruh pijakan.
Bumi menertawaiku sesungguhnya.
Ia pikir aku lampau layu.
Ia tahu kau satu-satunya musimku.

Tuan, kemarilah.
Katakan pada sajak mana harus kuhentikan puja padamu.
Sebab jika kau mati, puisiku mati.

Tuan, datanglah.
Genggam dan serahkan hati merah menyalah padaku.
Sebab kau tahu, hanya kau puisiku.
Hanya hatimu yg kudapati merah menyalah
menemani kuncup merahku yang redup,
sebab kaulah jiwa puisiku.

Tuan, kemarilah.
Bubuhkan tanda tangan pada materai merah mudaku.

Sabtu, 10 Mei 2014

Seperti Kebanyakan Malam

Seperti kebanyakan malam,
Kau, aku duduk bersila,
Bertutur perihal yang sudah,
Kau tentangmu,
Aku tentangku.
Juga perihal angan yang muskil.
Siapa peduli.
Angan itu tak pernah berbatas,
Begitu katamu. Ku iyakan.

Seperti kebanyakan malam,
Kau datang berbekal pagi.
Bekal janji menggurat senyum di bibir.
Katamu, kau adalah senyumku.
Pandai nian retorikamu.
Ah, siapa peduli.
Yang kutahu, malam ini dan malam kebanyakan,
Kau mahir buatku tersenyum.

Seperti kebanyakan malam,
Kidung terlahir,
Malam berakhir,
Sesungguhnya tak benar-benar berakhir,
Kita beranjak membubar sila,
Kemudian menunggu gelap kembali.

Sekali kuulang ketakutanku akan gelap,
Kau mengangguk sebelum kekata kuhabiskan.
Untuk itu kau di sini, katamu.

Dan pada setiap malam berakhir,
Selalu kubisik pada gelap, “andai tak ada ujung malam”.


Bukankah angan tak pernah berbatas?

Senin, 14 April 2014

Menunggu Suratmu

Jika boleh, aku punya satu permintaan, satu saja. 
Kala tiba hari lahirku, aku ingin sekali beroleh surat darimu, siapa pun kau yang sedang peduli dengan permintaanku. Iya, surat. Yang adalah lembaran kertas yang kau isi dengan coretan tanganmu. Tumpahan kalimat-kalimat yang sengaja kau pilih untukku. Sengaja kau letakkan di atas secarik kertas dengan tinta yang mungkin saja berwarna warni. Padahal hitam pun tak apa. Kertas lusuh pun tak mengapa.

Kau boleh membangun rumah persahabatan dalam suratmu itu. Aku akan berlapang menerimanya. Bahkan itulah maksudku memintamu mengirimkanku surat. Ceritakanlah dalam suratmu apapun yang ingin kau ceritakan padaku. Iya, apapun. 

Tak perlu kau tanya mengapa aku ingin. Aku hanya sedang merindukan perihal yang orang-orang tak lagi banyak melakukannya. Yang mungkin hanya dilakukan oleh mereka yang rela meluangkan sedikit saja waktunya untuk bercerita dengan pena. Sejenak menutup laptopnya dan meletakkan gadgetnya yang baru untuk sekadar meluangkan perhatiannya pada sepotong kertas yang kuminta. Meluangkan sedikit waktu untuk sahabat barunya, mungkin juga sahabat lamanya, dan bisa jadi selama ini sebatas sahabat mayanya. 

Kemarilah, kita kenalan. Suratmu tak akan pincang, ia akan kubalas. Setelahnya, kau tak perlu membalasnya lagi. Pada suratmu yang pertama, sudah cukup aku tahu kau peduli pada mauku. Aku akan bangga padamu, aku akan menyayangimu. Karena kita adalah sahabat setelah suratmu. Setelahnya lagi, cukuplah kita saling mengunjungi rumah kedua kita. Katakan saja dimana rumah keduamu. Kuberitahu lebih dahulu, inilah rumah keduaku, tempat bersarang cerita-ceritaku.

Aku pernah sedikit cemburu pada seorang adik yang lebih dahulu beroleh surat dari teman mayanya yang jauh. Ah, bahagia sekali ia menceritakanya padaku. Tentu saja, di saat zaman menggratiskan surat elektronik, masih ada pula orang yang rela ke kantor pos demi berkirim surat pada alamat tertuju. 

Belakangan hari, aku kerap  membawa novel yang sama kemana-mana. Tak ada hari aku lupa membukanya. Isinya tentang surat menyurat pula. Ia adalah penguat keinginanku. Berkirimlah, akan kutunggu. 

Catat alamatku (Pondok Qiabi-kamar 13, Jln Sahabat 2, Tamalanrea, Makassar). Akan kutunggu ia di hari ke-22 di bulan Mei. Dan jangan lupa, kabarkan pula alamatmu dalam surat. ^^

Minggu, 13 April 2014

Kenangan dan Pulang pada[nya]~[Mimpi]

Pagi  menuntun pandangku pada Moringa Oleifera di halaman rumah. Daunnya lebat dan mungil. Yang kuning berlomba embun meluruh ke tanah. Siapa yang lebih dahulu dimenangkan angin, ia akan dahulu bercumbu bumi. Kuamati sekujurnya, bagian batang ia keropos rupanya, di tengah-tengah nyaris kosong, namun daunnya masih subur dan lebat. Pantaslah orang menamainya pohon ajaib.

Melihat rupanya, aku teringat masa kecil dahulu. Sepertinya ia lebih tua dariku. Salah satu dari dua moringa yang ada di halaman rumah, adalah teman bermain kala kecil dahulu. Semasa daunnya lebat, ia adalah tempat persembunyian paling strategis saat main "Pole-Pole"-semacam permainan petak umpet (sebutan jawa-nya). Pohon yang satu lagi adalah pohon jambu biji yang berada tepat di samping rumah, meski hanya bagian batang paling bawah yang bisa kupanjati. Jika telah menggapai percabangan pada batangnya, disanalah aku bertengger, tak berani lebih tinggi. Selebihnya adalah berteriak pada teman yang berada jauh di atas sana untuk diambilkan buah yang matang.

picture from google
Iya, itu dulu. Saat masih belum ada pohon rambutan yang tak kunjung berbuah menjulang lebih tinggi dari pohon moringa itu. Saat pohon mangga di sisinya belum setinggi ujung ranting moringa. Juga saat umurku belum sebanyak ini. Waktu itu, aku masih si kecil yang suka menangis meraung-raung. Anak perempuan kecil yang pada musimnya, suka bermain wayang (permainan gambar) dan kelereng dengan kakak dan sepupu yang kebanyakan lelaki. Bermain monopoli hampir di tiap siang saat bulan ramadhan. Dan sesekali bersama teman perempuan bermain "bongkar pasang" dan boneka-boneka kecil yang kepalanya bisa dilepas (semacam barbie). Bermain bulu tangkis di pinggir jalan, main "Asing-asing", "ciko", lompat tali, dan juga "deppa" bersama teman yang kebanyakan perempuan. Ah, menyenangkan skali.

Sekarang? Sepi. Teman, sepupu, semuanya laiknya binasa di telan masa. Beberapa teman perempuan sudah menikah dan punya anak, bahkan sekadar bernostalgia pun agak sulit, sebagian habis sudah meninggalkan kampung mencari ilmu di kota. Sebagiannya lagi merantau mencari nafkah ke kampung orang. Sudah banyak yang kulewatkan di sini, beberapa pemuda dan orang tua telah berkalang tanah meninggalkan persinggahannya. 

Minggu, 06 April 2014

Ritual Tahunan Ke-3 (Seleksi PPAN)

Entah bagaimana memulai cerita setelah dua minggu menghilang dari dunia persilatan. Nyaris dua minggu tidak ke kampus (baca: kecuali sehari waktu ujian proposalnya Ria-teman seperguruan) dan tidak berada di mana-mana (baca: kecuali nonton 99 Cahaya di Langit Eropa part 2, sekolah menulis FLP, antar proposal ke Dinas Pendidikan dan Dispora). Selebihnya di mana saya berada? Saya sedang membayangkan diri saya terdampar di dunia antah berantah - tempat terdamparnya pesawat MA MH370. 

Baiklah, untuk banyak pengecualian tadi, ternyata kalian tidak kesepian, kalian masih memiliki banyak teman yang jauh lebih menarik perhatian saya. Demam selama 3 hari, kerja skripsi, dan yang paling penting adalah sibuk mempersiapkan diri untuk ritual tahunan (Seleksi PPAN).

Kalau masih ada yang bertanya apa itu PPAN? Sini, biar ibu guru jelaskan. 
PPAN itu singkatan dari Pertukaran Pemuda Antar Negara. Kegiatan ini diadakan oleh Kementrian Pemuda dan Olah Raga. Karena seleksinya dikembalikan ke provinsi masing-masing, maka yang meng-handle seleksi di Sulsel adalah Dispora Provinsi bekerja sama dengan Purna Caraka Muda Indonesia (PCMI Sulsel, yang adalah asosiasi alumni PPAN). Setiap tahun, jatah setiap provinsi berbeda. Tahun ini, jatah Sulsel untuk Laki-laki adalah Korea, ASEAN-Jepang, dan Kanada. Sedangkan untuk perempuan jatahnya ke Australia dan Malaysia. *Jika ada yang penasaran dan berniat untuk mendaftarkan diri tahun depan, silahkan klik pcmisulsel.blogspot.com dan join di grup facebook Student and Youth Forum (South Sulawesi) untuk tetap update infomasinya.
5 April 2014, lagi gifo di mushollah Dispora efek tidak ada yang foto pas performance
**
Percayalah, tahun ini adalah kali ketiga saya mengikuti seleksi PPAN. Sebetulnya sudah kuputuskan untuk tidak ikut lagi tahun ini, biarlah saya fokus menyelesaikan skripsi. Tapi karena hasutan beberapa orang, akhirnya saya memutuskan untuk ikut kembali. Mumpung masih muda, single dan masih tinggal di Sulawesi. Lagi pula tidak ada yang bisa menjamin saya akan gagal lagi tahun ini. Meski tidak ada pula yang bisa menjamin saya akan lolos. tapi percayalah, kita tidak akan tahu menang atau kalahnya kita, jika kita tidak mencoba. Just do it. 

Jumat, 21 Maret 2014

Ujian Proposal ~ Rasa Nano-Nano

Jumat, 14 Maret 2014

Siang masih muda waktu itu. Malu-malu kulangkahkan kakiku menuju koridor jurusan. Di sana sudah bertengger beberapa orang teman seperguruan. Kupastikan jaketku terpasang dengan baik. Sengaja kugunakan agar pakaian hitam-putihku tak begitu mencolok. Namun sama saja, pakai jaket ataupun tidak aura seminar proposal memang sudah terbaca. Semalam Sudah kusebar sms ke mereka agar datang di seminar proposalku. Satu demi satu mereka berteriak. "Ciiieeeee, yang proposal!"



Tentu saja aku tersenyum. Eh tertawa malah, aku agak kurang pandai menahan kebahagiaan. Hari yang telah lama kutunda sebab menunggu film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck beredar di Youtube atau pun di indowebster. Niatku memang ingin menjadikan film ini sebagai objek penelitian, namun akhirnya merasa di-PHP begitu lama, sekitaran 2 bulan menunggu, aku menyerah dan beralih ke novel saja. 

Setelah dua bulan, akhirnya aku menemukan hari ini, hari bahagia namun cemas. Ini masih sebelum aku menyimpulkan bahwa seminar proposal itu rasanya seperti nano-nano.

Kenapa seperti nano-nano?
Pertama, rasa bahagia tadi. Kedua, aku terharu sebab berhasil menyita waktu sibuknya dua sahabat manisku untuk datang memberikan dukungan. Ketiga, masih galau sebab satu dari dosen pembimbingku yang juga penguji-sekaligus PA ku sendiri, Bang Sonni tak sempat hadir. 'Mitos dibela oleh dosen pembimbing saat ujian' memang jadi senjata pamungkas mahasiswa tingkat akhir di jurusanku. Baiklah, tak apa. Masih ada pembimbing yang satunya lagi, Pak Najib. Alasan keempat dan seterusnya akan sedikit panjang.

Sabtu, 15 Maret 2014

Selangkah Lebih Maju-14 Maret 2014

Seminar proposal, 14 Maret 2014
Sejak menyandang status sebagai "mahasiswa tingkat akhir", entah mengapa saya melihat perubahan yang sangat pesat di dunia ini. Saya merasa semua orang menjelma menjadi mahasiswa tingkat akhir, yang sibuk membahas skripsweet. Iya, semua mahasiswa juga ibu-ibu, bapak-bapak, tante-tante, adik-adik, semuanya menjelma menjadi monster yang mengerikan. 

Di angkutan umum alias pete-pete saja, tidak jarang saya menemui mahasiswa yang membahas suka duka dunia per-skripsi-an. Mulai dari kedongkolannya pada dosen pembimbing yang sibuk mem-PHP-kan mereka, atau proposal yang tidak kunjung di-acc, kesibukan mengurusi surat penelitian untuk instansi terkait, sibuk mencari referensi, belum dapat judul, sibuk menyiapkan kebaya untuk wisuda, bahkan yang hanya sibuk menanyai temannya dengan pertanyaan sejuta ummat 'Jadi kapan sarjana?"

Di kampus apalagi, dalam sehari, sejak menyandang status ini, tidak pernah dalam sehari pun tidak ada pertanyaan seputar skripsweet. Sweet skali memang, itu tandanya mereka peduli. Semoga. Namun, mungkin juga sebab mereka sudah sangat menginginkan saya untuk lekas melangkahkan kaki keluar dari kampus. Bencikah? Sayangkah? keduanya memang kadang sulit untuk dibedakan, begitu kata orangg-orang.

Minggu, 09 Maret 2014

Salam Hangat dari Blogger Manis ^^

Malam teramat ramah saat aku menuliskan ini. Tepat aku terduduk manis di depan pintu kamar kosan bertemankan bulan, sembari menyeruput segelas es cappucino traktiran tetangga sebelah. Menulis memang lebih nikmat bertemankan malam dan segelas cappucino traktiran.

Beberapa hari bergelut dengan kesibukan yang sama, pada gilirannya membuatku jenuh. Berburu dosen pembimbing kini menjadi kesibukan baru lepas kesibukan jelang akhir kepengurusan di KOSMIK. Iya, akhir bulan lalu aku sibuk dengan persiapan pencopotan jabatan itu. Tanggal sudah satu amanah. Sebab itu hampir sebulan aku tak bercerita di sini.

Tepat saat aku rindu bercerita pada kalian, aku menemukan sebuah pesan di facebookku. Bunyinya kurang lebih seperti ini :

"Hai.. gue Edotz dari Blogger energy, thanks udah klik join komunitas blogger energy di facebook.
Tapi maaf banget belum bisa di-approve, karena kita punya persyaratan khusus..
jadi biar lebih banyak tau tentang Blogger enery bisa baca dulu yang ini, http://www.bloggerenergy.com/2013/02/aturan-calon-anggota-baru.html

bla bla bla....... "

Oke. Sampai saat aku membaca pesan ini, aku merasa amnesia untuk beberapa waktu. Kumohon, tetaplah maklum pada satu sifatku ini. Kalian tentu tak lupa kalau aku seorang "pelupa".
Dan beruntunglah aku membaca inbox facebook malam ini, sebab iya "mengingatkanku" bahwa aku pernah mengklik join pada grup komunitas "bloggerenergy". 
Dan yah, meski sampai saat aku menuliskan ini, aku masih berada pada lupaku. Siapa yang memperkenalkan grup ini padaku? Kapan aku mengklik alamat grup facebook itu? Dimana? Kenapa?

Sabtu, 15 Februari 2014

Surat-Selepas Kelud Murka

Waktu itu, hari masih hitam. Tak perlu mengintip di balik tirai pun, aku sudah tahu. Bayang-bayang gelap menelusup di cela-cela pintu dan lantai kamar yang tak persis bersinggungan membisik kabar bahwa hari masih dini. Lepas subuh, kuhidupkan laptop dan berselancar di dunia maya. Di beberapa situs berita kutemukan kabar Kelud meletus. Ah cobaan lagi untuk belahan bumiku. 

Apa kabar napas si mungil? Adakah nyawa yang tak sempat mengucap selamat tinggal pada sanak keluarga di kejauhan? Tabahlah saudaraku, bukankah Allah sudah mengingatkan :

"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan,"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un." Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk".
[al Baqarah/2:155-157]

Lalu pagi ini, kubuka kembali beberapa situs berita. Katanya Jogja pun sudah kena abu vulkanik Kelud, bahkan terbawa angin sampai ke Bandung. Apa kabar Pare, Kediri, Surabaya, Malang, dan Blitar kalau begitu? Semoga kalian baik-baik saja saudaraku, semoga terus dalam lindungan-Nya. Kalian dan juga saudara-saudara yang tak pernah kusua-i sebelumnya.

Selasa, 11 Februari 2014

Meneropong Tayangan Infotainment di Media

Andakah salah seorang penggila infotaiment? atau mungkin ibu anda? tante? om? bapak? adik? atau mungkin kakak anda? Apa yang sebenarnya Anda cari dari "pemberitaan" di infotainment. Ingin tahu gosip? update dan gaul? atau mungkin kepo saja, seperti kebanyakan anak gaul mengistilahkannya? 

Untunglah sejak dahulu kala saya tidak begitu kepo dengan urusan pribadi para artis. Lalu di suatu hari yang sudah lumayan lama, saya membaca sebuah buku karya prof andalan saya, Prof Deddy Mulyana, makinlah saya tidak melirik infotainment dengan tujuan semata-mata meng-kepoi artis. Oke, sekali lagi saya kurang kepo.Bagaimana dengan Anda? 

Prof Deddy pun membuat tulisan itu sebab pernah menonton infotainment pastinya, tapi bukan untuk meng-kepoi artis, tapi lebih kepada mengkritisi. Demi kemaslahatan ilmu pengetahuan. Halah. Saya tidak memaksa anda untuk menyetujui apa yang dikatakan prof. Deddy dan yang menjadi keyakinan saya pula.

Tak bisa dipungkiri bahwa infotainment yang populer disebut gosip itu adalah sebuah keniscayaan di setiap pijakan bumi. Namun adakah kita menyadari keberadaan infotainment di Indonesia kian membabibuta? Bahkan hampir tak kenal waktu. Bisa jadi hal ini disebabkan sifat budaya kita yang senang mengidolakan orang lain. Indonesia cenderung menganut budaya kolektivis. Dalam masyarakat kolektivis, Prof Deddy mengatakan diri (self) tidak bersifat unik atau otonom, melainkan lebur dalam kelompok (keluarga, klan, kelompok kerja, suku bangsa, dsb). Keberhasilan individu adalah keberhasilan kelompok, kegagalan individu pun kegagalan kelompok. 

Senin, 10 Februari 2014

Nenekku Sayang kembali Kanak

"Minumlah madu setiap hari, Nek. Madu itu obat segala macam penyakit."

Kubuka pembicaraan setelah sedari tadi nenek memandangiku lekat. Entah apa yang sedang berlalu lalang di imajinya melihat cucu perempuannya semakin dewasa. Sesekali nenek memejamkan matanya. Tapi kutahu ia tidak sedang mengantuk. Beranda rumah memang tempat yang nyaman untuk sekedar melepas kantuk. Terlebih siulan angin yang hilir mudik meninabobokkan tuannya. 

"Iya, tapi maduku sudah habis. Belakangan kepalaku sering sakit. Penglihatanku rasanya sedikit demi sedikit makin kabur. Lututku apalagi, ngilunya berlangganan tiap malam."

Ah, nenekku sudah benar-benar tua. Lama sekali rasanya aku tidak tidur dengannya. Sejak masuk SMA, aku tinggal di rumah tante yang letaknya lumayan dekat dari sekolah. Jarak rumah dengan sekolah bukanlah perjalanan pulang pergi seharian, makanya kuputuskan untuk tinggal di rumah tante di kota. Sejak itu, tante melarangku sering kembali ke rumah. Sekali sebulan saja ia mengizinkanku. Lalu sejak itu, aku tidak banyak berkabar dengan nenek. Terlebih berkenalan dengan dunia kampus, kembali ke kampung tidak lagi masuk dalam daftar keharusan. Saat liburanpun, kembali ke kampung seminggu itu  sudah sangat lama.

Sabtu, 08 Februari 2014

Lagi-lagi Senja

Tak perlu kujelaskan mengapa kau kusebut senja. 

Kutegaskan, aku bukan seorang pengagum rahasia seperti kebanyakan muda-mudi mengistilahkannya. Juga kau, kan? Tapi, mungkin kita pernah saling mengagumi. Iyakah? PD benar aku ini. Biarkan sajalah, sebab aku tahu kau tak mungkin membaca ini. Kau boleh mengistilahkan kata "mengagumi" itu sesuka hatimu. 

Tentu sejak lama kau sudah bisa menangkap pesan yang sama. Kau pastilah paham, sebab kau cukup pandai menjadi komunikan, namun tak begitu pandai menjadi komunikator. Kita sama. Aku pandai menangkap pesanmu. Atau mungkin kita terlalu pandai dalam urusan bertukar pesan? sampai tak diverbalkanpun, kita saling mafhum. Setelahnya, hanya diam.

Dan lagi, sebetulnya kita sudah lama sama-sama paham atas diam kita. Meski sebetulnya kau tahu aku bukan seorang pendiam. Kau pun. Lalu di suatu hari,  kau benar-benar mendiamkanku selayaknya aku sedang tersalahkan. Aku melakukan hal yang sama. Tak perlu khawatir, itulah yang seharusnya aku dan kau lakukan. Bagus, kau sudah melangkahkan sebelah kakimu. Dan bodohnya, kau tarik ulur sebelahnya lagi. Kalau begitu, tetaplah di sana sampai kau jenuh sendiri. 

Rabu, 05 Februari 2014

Kapan Sarjana, Isma?

Sebetulnya saya sudah agak bosan bercerita tentang skripsi, juga tentang status saya sebagai mahasiswa tingkat akhir. Saya pernah bersepakat dengan seseorang atau mungkin sesuatu yang entah siapa dan apa, biarkan semuanya mengalir saja. Kerjakan dan, tunggu saja sampai saatnya tiba. 

Namun ada hal yang ternyata tidak bisa saya hindari. Saya akan selalu berbicara tentang satu hal ini jika saya selalu diingatkan. Siapa yang kumaksud mengingatkan? Mungkin mereka. Mungkin juga kalian.
Pertanyaan yang sesungguhnya beraneka ragam namun intinya sama saja. KAPAN SARJANA?
Adakah sehari saja saya bisa terhindar dari pertanyaan ini? Belum lagi hasutan dari beberapa dosen. Meskipun bahasanya "dibercanda-bercandakan" namun saya yakin mereka bertanya dengan serius-niat sekali mereka mengusir saya dari kampus.
"Kapan maju seminar propoal, Isma?
"Kenapa belum memasukkan blangko judul, Pembimbing sudah habis ini. Atau kamu tahun depan saja?
"Lihat itu anu sudah maju, masa kamu belum?

Bunuh, saja saya, Pak. Kalau ada yang bisa menjamin setelah proposal, bajakannya film Tenggelamnya Kapal Vander Wijck sudah keluar, maka minggu depan pun saya disuruh proposal. Saya memang sedang digalaukan oleh satu hal ini.

Minggu, 02 Februari 2014

Pesan untuk Riy

Ada seorang teman. 
Malam ini aku terjebak dalam sebuah percakapan sederhana dengannya. Percakapan melalui layar dan keyboard laptop. Kau masih ingat teman yang memanggilku "Riy"? Dialah orangnya.

Dengarlah, Aku adalah salah satu di antara banyak orang yang teramat jarang mengaktifkan obrolan di Facebook. Seseorang yang terkadang membalas pesan teman setelah didiamkan beberapa hari dalam inbox, yang tentu saja sebelum akhirnya pesan itu berlumut. Pula seorang anak manusia yang tidak akan membalas pesan atau chatingan jika hanya bermaksud berbasa-basi ingin kenalan. Sungguh, itu lebih dari sangat basi.

Percakapan malam ini aku yang mengawali, tapi tak sebetulnya aku. Seperti yang kukatakan, ada pesan yang kadang sudah bertengger selama berhari-hari di inbox, namun baru saja kubalas. Tak lama setelah kukirim pesanku, balik iya berkirim pesan. Bercakaplah kami. Sekali lagi sederhana. Tentang buku yang ingin ia pinjam padaku, dan oleh-oleh dari kampung halamannya di Kalimantan sana. Aku tak memintanya, dialah yang menawarkan. Alhamdulillah.

Tentang hujan, ia masih ingat rupanya. 
Sudah kubilang, aku tak begitu menyukai hujan, percikannya yang berbaur tanah membuat kotor. Tapi aku suka menuliskannya. Lalu sebab beberapa tulisanku berbicara tentang rinai yang adalah hujan - sampai aku dipanggilnya Riy (sebab Rinai), maka mungkin ia mengingatku saat turun hujan dan saat melihat Judul buku ini 'Aku, kamu, dan Hujan'. Katanya waktu melihat buku itu, ia mau membelinya, namun sebab tak cukup uang, niat ia urungkan. Ah, mengingatku saja aku sudah berterima kasih, teman. 

Ia kemudian menutup pembicaraan dengan kalimat yang tidak kusangka,
"Tips biar inner beauty lebih mempesona ada baiknya berwudhu sebelum tidur.'

Aku tersenyum, tak ada seorang teman lelaki pun yang pernah mengingatkan akan perihal demikian padaku. Berani pula ia mengatakan ini - sementara yg kutau ia adalah seorang ikhwan. Atau apakah mungkin karena ia adalah seorang ikhwan maka ia mengingatkan saudari seimannya? Maka terima kasih yang amat banyak.

Jumat, 31 Januari 2014

Menghabisi Januari

Well, Saya merasa sangat sukses di bulan awal tahun genap ini. Sukses mengembalikan semangat menulisku. Yap, ini memang salah satu resolusi di tahun 2014. Ada sangat banyak, tenanglah, jika setia bertengger di rumah keduaku ini, satu persatu resolusi itu akan kamu ketahui. 

Kurasa kesuksesanku di bulan ini mengandunglahirkan anak-anakku jauh membuahkan lega dari tahun lalu. Bulan ini lebih banyak tulisan dibandingkan setahun lalu, sebulan berbading setahun berarti. Jangan, jangan sampai hanya di Januari, doakan saya pemirsa agar tetap konsisten untuk mengandunglahirkan bayi-bayi tulisan di sini. Pula tahun ini, saya berharap ada buku baru lagi yang terbit bertuliskan Isma Ariyani Iskandar. Semoga. Itu salah satu resolusi yang lain di dunia persilatan-pena. Entah dari mana muncul istilah ini. Tapi biarlah, biarkan saya menggunakannya demi membumikobarkan semangat menulisku. *apasih. 

Oh iya, kemarin muncul cerpen "Tragedi Dusunku" di PK Identitas Unhas, baiklah itu pembuka tahun. Selanjutnya saya menargetkan lebih. Belakangan saya memang sangat jarang menuliskan cerpen. Menutup Januari ini berarti membuka lembaran baru, mesti nulis yang lebih banyak lagi, target media (Bukan Identitas lagi, bosan. *sok, padahal cuma sekian kali.). Lalu target meja ujian SKRIPSI. *hak, yang satu itu memang tidak boleh terlupakan. Ah, doakanlah saya agar bisa memakai toga di bulan enam ini, kawan. 

Baiklah jika demikian, mari menghabisi Januari dengan tempelan-tempelan sticky note yang lebih banyak di dinding kamar. :)
Dan, Selamat berakhir, Januari. 

Rabu, 29 Januari 2014

Musim Basah yang Keempat

Seringnya aku ingin menggugat. Tapi bodohnya entah pada siapa. 

Mengapa kau tidak angin bawa saja bersama musim basah yang keempat ini. Lebur bersama air mata yang sudah banyak ruah sebab kau. Sampai pada masa aku menyimpulkan kau telah aku lupa. Setiap kali sebelum akhirnya aku kerap menyimpulkan, masih saja aku paut akan kau. Lucu memang, tapi begini lah akhirnya. Aku yang bodoh. Atau memang sebab kita sudah bertanda tangan di atas materai persepakatan alam?

Sampai pada saat aku merasa tersalah, dan merasa teramat jahat pada seseorang yang kupastikan ia tulus bercurah cerita padaku. Bertanya kabar. Menyuruh makan saat aku lupa. Dan lalu kuminta pula ia menjauh, seperti yang aku pun pernah lakukan akan kau, meski dengan cara yang berbeda. Kupikir agar aku adil. 

Lalu di musim basah tahun ini, kau datang lagi, pula ia. Ingin rasanya aku lari ke tempat yang entah dimana kakiku akan terhenti sebab merasai lelah. Sampai aku tak lagi merasa salah akan sesiapa, pula pada diriku sendiri.

Minggu, 26 Januari 2014

Menyoal Usia dan Cinta

Menyoal tentang cinta, perkara sepertinya tak kan ada ujung. 

Beberapa hari belakangan aku sering larut akan obrolan banyak orang - yang kebanyakan dalam tulisan. Iya, cinta. Tak usah kau tanya hati kapan kita bisa lepas dari obrolan tentang cinta. Tidak akan pernah. Matilah hati jika tak ada cinta. Mati hati, tak lama raga pun minta dinisankan. Mungkin jika bukan dalam kata kau ucapkan, namun hati adalah sebaik-baik pemuja cinta.

Cinta yang kumaksudkan, tentulah kita sudah sama-sama mafhum. Cinta yang tidak hanya pada lawan jenis tentunya. Tapi cinta yang sebenar-benar cinta.

Ah, sungguh akupun tak paham benar, sudahkah hati peroleh cinta yang sebenar-benar cinta? Kurasa tanyakan pada hati masing-masing kita, melalui ucap dan laku. Jika belum, maka bersegeralah menuju padanya. Jika tak tahu caranya, cukup perhatikan orang-orang di sekitar yang penuh akan cinta hatinya. Jika kau tak mampu membedakan, sasarlah tempat di mana ada mereka yang membuat damai kau di sana. 

Baiklah, bukan itu yang sebetulnya kuperkarakan pagi ini. Di pagi buta aku terbangun dari mimpi yang entah, laptop masih dalam keadaan hidup. Semalam aku tertidur sebelum waktunya rupanya. Saat aku hendak mematikan laptop, kusempatkan mengecek dashbor blogku, ah ada tulisan baru seorang kawan lagi, dan yah, tentang cinta dan urusan pinang meminang. Pagi yang tadinya membelai kembali mataku untuk tertidur setelah mendirikan subuh, melek lagi akhirnya. 

Sabtu, 25 Januari 2014

Pohon Asa

Usah kau hitung masa ke berapa kau tanam asa lalu pergi meninggalkannya. Kita pernah bersama merawatnya tanpa ada saling menyepakati. Sesekali kau menyirami kala aku luput. Sesekali kau enyah bahkan hampir hingga layu. Lalu setelah hampir ia mati, tiba lagi kau padanya. Berapa lama kau akan di sana? Menarik ulur hidup dan mati asa?

Hari sebelum ini, tak sengaja mata kita sua pada satu titik. Lenyap logika seketika. Akal sekali-kali hanya nama saja. Hilang ia jika hati hendak bicara.  Mantra apa telah kau sebar? 

Saban hari aku hendak berhenti saja. Persepakatan yang tiada, tak lain adalah jalan pengantar mati. Jika asa sampai pula pada puncaknya, nyawapun tak berharga lagi, bahkan kadang Tuhan pun terlupa. Ah, jangan sampai. 

Dimana ia datang, maka di situ ia kembali. Sujudlah pemintal asa yang lain. Asa yang sebenar-benar asa.
-Jika Ia berkehendak, pohon asa kita Ia akan jaga. 


**Tulisan ini sepertinya sebab kandung Sindrom Hayati-Zainuddin**

Kamis, 23 Januari 2014

Salah Mantra

Pagi tadi sudah kubuat persepakatan pada alam. Kubisikkan mantra padanya. Bukan mantra pemanggil hujan, pula bukan penangkal angin. Aku sepakat pada pagi yang alam buka dengan manis. Pun ia sepakat senyumku yang sipu padanya. Akan ada kabar gembira hari ini, bisikku.

Maka semesta menonton pertunjukanku. Runut benar lakonnya meneladaniku. Sebagaimana masa, berjalanlah ia pada putarannya.
Ah, Ada saja ihwal yang tak mampu kita rencanai.

Lalu, aku biak sebab ruah sedu. Atmosfer berubah dongkol.
Tak ingkar rupanya, sebab persepakatan kita, langit pun dongkol pada bumi.
Dongkolku seringkali berakhir ruah air mata. Sesak.
Lalu masa yang persis sama, mata langit meruahkan sedu.
Jika tak membawa payung, padulah seduku pada sedu langit. Ah mantraku salah.

Senin, 20 Januari 2014

Tragedi Dusunku

Dunia tak ubahnya memenjarakan kerakusan. Sudah belasan tahun dendam belum juga membusuk dan mati. Bahkan sudah beranak cucu. Untunglah ayah selalu mengajarkanku bijak. Lalu adakah manusia yang lepas dari luput?
Ah, ayahku sayang telah renta. Rambutnya putih hampir seluruhnya. Keriput sudah wajah dan jemarinya. Ini aku yang tak lagi kanak, ayah. Pulang dengan seribu jawaban yang akhirnya waktu menuntunku padanya.
“Bagaimana keadaan masjid, Ayah?”
“Begitulah, Nak. Masih ada dendam di antara mereka. Dusun kita masih dua kubu. Padahal sudah berapa kali ganti pemerintah.”
Tahta dusun berakhir tragedi di sini. Selalu ada dendam. Bahkan masjid pun jadi medan tikam.
“Tugasmu, menyatukannya kembali, Nak.”
*

Minggu, 19 Januari 2014

Selamat berulang Bulan & Tanggal, Perempuan ^^

Untuk "Perempuan" yang menamai diri Azure Azalea.


Sejak takdir menuliskan diri pada pertemuan kita di sebuah gedung, sejak itu aku lekat pada ingatan akan kau, Perempuan. Jika kau masih ingat, di sana  kita pernah bersila manis, berucap mimpi sama-sama menjadi purna nantinya, saling mendoa dalam dekap semesta. Iya, doa yang membimbing jemari kita pada satu bentukan yang sama. Kurasa kau masih ingat. Karena akupun masih. 

Setelah pertemuan itu, entah dimana kali kedua kita dipertemukan. Aku lupa. Kurasa kau pun. Karena sakit kita sama. Sakit lupa. 

Selasa, 14 Januari 2014

Perjalanan ke Bumi Lakipadada #Part 3 (Ke negeri Kabut)

Masih juga aku berusaha melawan ronta seisi perut yang meminta ditumpahkan. Untung saja pertahananku masih kokoh. Lika liku jalan memang tak ada habisnya. Kuingatkan, jangan mengimpikannya di sini. Ingin memejamkan mata, sayang jika melewatkan landscape di sepanjang mata memandang. 

Destinasi selanjutnya adalah Batu Tumonga.Sepanjang perjalanan, tak henti mataku terpukau pesona hijau alam Toraja. sedikit demi sedikit perjalanan semakin menanjak. Sepertinya mobil sedang mengejar puncak. Hamparan hijau berpematang, berbungkus rapi dengan keelokan subur oryza. 

Tak jarang kudapati bebatuan besar di sisi jalan. Pun di tengah sawah. Atau bahkan pada gundukan yang membentuk rupanya sendiri. Batu hitam, yang lalu berpintu. Unik. Seperti sedang menyaksikan film yang entah. Bantu berpintu yang di kanan kirinya masih ada rangkaian bunga duka. Itu kuburan rupanya. Tak habis pikir aku dibuatnya. Melubangi batu untuk menyimpan mayat, itu mereka sebut kuburan.

Senin, 13 Januari 2014

Perjalanan ke Bumi Lakipadada #Part 2 (Menyaksikan Upacara Rambu Solo)

Bumi Lakipadada, begitu orang menamai Tana Toraja. 


Dari balik patung Lakipadada aku meneropong jauh ke arah berlawanan. Imaji menari di atas bukit yang berlatar gereja Bukit Sion. Kubentangkan nafas panjang beralamat siap menjelajah alam Toraja yang penuh likukan jalan. Kutegaskan ini bukan perjalanan biasa. Bayang-bayang tradisi upacara kematian yang tak pernah kulihat sebelumnya, membuatku sedikit geming membayangkan bagaimana rupanya. Dan alamat pembuka perjalanan kami adalah ke tempat salah seorang rekan yang di sana tengah berjalan upacara Rambu Solo. Kakek yang meninggal ternyata sudah memasuki usia sembilan bulan kematian. Bagi orang baru sepertiku, cuat tanya mengambang-ambang di kepala.

Sepanjang perjalanan terbentang hijau alam Toraja. Bukit dengan hias gereja di hampir setiap puncaknya, menambah kekhasan Toraja. Mungkin itu sebab mengapa Toraja disebut bumi seribu gereja. Pula tata bangunan yang tak apik berdiri merupakan keindahan yang lain menurutku. Aku menyukai bagian itu, mengingat tipografi daerah ini memang berbukit dan berkelok-kelok. 

Belum jauh mobil kami meninggalkan Makale menuju Rante Pao, masih lekat kupandangi setiap hamparan hijau di sayap kanan dan kiri jalan. Pemandangan yang tak jarang didapati adalah perbicangan bangau di atas punggung kerbau. Persahabatan alam.

Minggu, 12 Januari 2014

Perjalanan ke Bumi Lakipadada #Part 1

7-12 Januari 2014.

Tiga rombongan lepas sudah dari hiruk pikuk kota. Menanggalkan aktivitas yang sekiranya sedikit banyak berperan melahirkan penat pada tuannya. Aku salah satunya, pergi sekedar untuk melepaskan penat, juga sebelum kembali diperhadapkan dengan benih-benih penat yang lain. Sepertinya akan menjadi keniscayaan lagi jika mengingat status sebagai "mahasiswa tingkat akhir". Juga untuk menggenapkan mimpiku berkeliling Sulawesi. 

Tepat pukul sebelas malam, kami bergegas meninggalkan kekaki mungil di koridor kampus. Sejak pagi semut-semut koridor sepertinya jemu memandangi wajah lusuh kami yang tak juga kunjung beringsut dari sana. Kabar yang dinanti sejak pagi tak lain hanya kabar keberangkatan. Seharusnya kami memang sudah memulai perjalanan sejak tanggal 6 kemarin, namun lagi-lagi, tidak ada sebaik-baik perencana kecuali yang di atas. Lalu langit malam semakin pekat, barulah kabar baik sampai pada tuan-tuannya. Beranjaklah kami ber-22 orang ke bumi Lakipadada.
**
Pagi membuka mata lebih dulu dariku. Aku memang lelap dan melewatkan banyak likuk jalan (setengah dari daerah Enrekang), yang mungkin jika terjaga akan berasa mual. Aku membalik pandang ke arah kanan jalan. Elok benar yang kulihat. Lekukan Gunung Nona rupanya, gunung yang katanya eksotis. Ini memang kali kedua aku ke Toraja, namun di perjalanan sebelumnya aku tak sempat menyaksikannya, sebab kantuk yang dipaksakan saat berhadapan dengan jalan berkelok-kelok.

Obrolan dengan Tengkorak

Pekuburan adat Kete' Kesu-Toraja (photo by Rohadi Malik)
Hallo, tengkorak. Apa kabarmu?
Kau kah yang aku sua di tempat ini lima tahun lalu?
Kau masih disini rupanya. Berapa tambahan temanmu disini setelah lima tahun tak bersua?
Lihat, semakin banyak tulang yang berserakan.
Sudah berapa banyak yang datang mengunjungimu? Mengajakmu berfoto? Memindahkan tetulangmu?
Jika bisa, apa kau akan berontak?

Tak perlu kau jawab. Biar kuterka.

Merindukan Pulang

Benar saja. Pada sebuah rumah, selalu ada rindu untuk pulang. 

Lama mungkin, kita tak lagi pernah semeja untuk sekedar menghabiskan suapan nasi yang adalah hasil kerja kita. Kau benar, mungkin kau patut mengutukku, kawan. Di meja ini, kita pernah saja tertawa di sini. Berbagi obrolan tentang seisi penghuni rumah. Bahkan pernah bercucuran air mata sembari melahap habis cerita di meja makan. Yang kebanyakan membicarakan mereka yang meninggalkan rumah. Mereka yang hanya sesekali saja kembali membuka pintu rumah, sekedar menampakkan wajahnya, lalu kemudian pergi untuk mencari rumahnya yang lain-yang mungkin dirasainya lebih nyaman untuk makan. Atau mereka yang kita pernah sama-sama mengutuk mereka yang tak lagi menganggap rumah ini rumah mereka.

Iya, kurasa kau patut mengutukku. Sekarang aku merasa menjadi mereka. Pergi karena tak lagi nyaman dengan rumah ini. Obrolan sarapan pagi, makan siang, makan malam, atau sekedar duduk menghabiskan segelas air putih, tak lagi aku merasakan hangat. Segalanya dingin. Iya dingin. Bukan makanan dan minumannya, tapi perbincangan kita, yang sesekali dengan mereka. 

Kau tahu? Aku muak. Tapi tetap salah. Meninggalkan kalian. Ragaku saja yang disini, sekedar menyelesaikan tugasku. Memasak untuk kalian atau sesekali makan bersama kalian, itu topeng. Maaf. Sekali lagi maaf. Banyak yang berubah dari rumah kita. Entah hanya mataku saja yang melihatnya, ataukah memang sejak awal ekspektasiku sudah salah tentang rumah kita ini. Ah maaf lagi, untuk harap yang juga tak senilai dengan pengabdianku.

Minggu, 05 Januari 2014

Seseorang Memanggilku "Riy"

Belakangan, ada-ada saja ihwal yang aku tertarik untuk menuliskannya. Sepertinya musim basah belakangan sedikit banyak telah menumbuhkan kembali canduku untuk menoreh cerita di sini. Seperti sebelumnya, pernah kukatakan "pada saat hujan, ada nyanyian yang hanya bisa dirasakan oleh orang yang merindu." Lalu, rindu itu akan mengandung dan melahirkan kembali banyak kenangan yang mungkin akan membuatmu geli atau bahkan larut dalam sedu. Dan menulis sedikit banyak juga telah menjadi penawarnya. 

Aku pernah setuju dengan banyak orang yang ingin melupakan kenangannya. Salah satu cara yang kata mereka mustajab adalah dengan tak ingin menceritakannya kembali. Lalu waktu berontak padaku. Tidak lagi aku sepakat dengan itu. Benar kata seorang teman bahwa kenangan tak pernah bersalah. 

Alasan kedua mengapa musim ini kembali terlahir candu, sebab Rinai kerap memenjarakan kita pada sudut ruangan yang akhirnya hanya berteman keyboard. Lalu tak ada lagi lain pilihan jika tidak dengan menarikan jemari padanya. Iya, seperti beberapa tulisan sebelumnya, aku di sana. Kurasa Rinai akan banyak melahirkan penulis amatiran di dunia. Namun setelah amatiran, semesta akan menjadikannya berarti. Semoga.

Kamis, 02 Januari 2014

Januari Disisakan Desember

Lagi. Kusayangkan tak menuliskan banyak cerita di tahun kemarin.
Pula ingatanku yang kalian tidak ragukan lagi pelupanya, barang tentu tak bisa mengingat semuanya. Mungkin akan kuceritakan, namun hanya kulitnya saja. 

Akan kuingat yang bisa kuingat saja. Kumpulan kenangan pada satu cerita. 
Inilah sebab mengapa aku suka dengan tahun kemarin. Memang aku luput untuk menuliskannya disini, tapi tidak di buku catatan kecilku yang meskipun tak semuanya juga sempat kuceritakan.

"Saat hujan, ada nyanyian yang hanya bisa dirasakan oleh orang yang merindu"
(dipopulerkan oleh Batara Al-Isra yg entah perkataan siapa)

Seperti saat menuliskan ini, hujan di luar sedang berlomba mengguyur daun dan pepohonan. Dengan rakus, iya ruah pada tuannya. Hujan memang sedang ingin berkisah dan bersaksi. Aku yakin, sedang banyak disaksikannya jiwa tengah merindu. Seperti aku merindukan tahunku. tahun dengan kumpulan ceritanya. Bahkan sedikit aku hampir tak ingin Desember berlalu. Terlalu banyak yang ingin kuselesaikan di Desember. Terlalu banyak. Dan Januari disisakannya.

Musim yang Basah

Di luar masih sangat basah rupanya.
Ah, aku lupa, musim memang sedang basah.
Juga, aku hampir lupa, Desember baru saja pergi, kupikir ini masih tahun yang sama.
2013.

Banyak,
Sungguh sangat banyak yang ingin kuceritakan di Desember.
Padamu, juga pada senja.
Belakangan, jarang aku melihat  senja.
Musim membawanya pergi. Mungkin juga kau.

Aku ingin melihat senja.
Tapi,
Aku tak ingin melihatmu.
Semoga juga kau.

Itu sebab senja selalu indah,
Lalu "kita"?

Rabu, 01 Januari 2014

Katanya, Beginilah "New Year Eve"

Dini hari 03.23

Masih ada bunyi dug-dug di luar sana, sepertinya tak jauh dari sini masih ada yang tengah melakukan ritual ajeb-ajeb. aku tak mengerti betul ritual itu, tapi anggap saja mereka tengah menggoyangkan seluruh badannya, melompat, dan bahkan lupa daratan, ada yang bertemankan alkohol di tangan kanannya, lalu asik menggeleng-gelengkan kepalanya. Seperti yang kulihat di anjungan pantai losari sekitar sejam yang lalu. Di kompleks kos-kosan seperti ini, entah sumber suara DJ seperti itu muncul dari pojok mana, yang kutahu suaranya masih sangat jelas. Ah, mereka lupa waktu dan tempat.

Aku sendiri tak mengerti mengapa akhirnya bisa kembali ke kamar kosan di pagi-pagi buta seperti ini. Ah mana ada perempuan berjilbab dan ber-rok sepertiku masih berada di luar sana sampai larut? Siapa yang mengira niatku untuk mengumpulkan tugas ke rumah dosenku akan berakhir di Losari? 

Selepas magrib, ku sms salah seorang temanku untuk mengantarkanku ke rumah dosenku sekedar mengumpulkan tugas yang tertinggal. Sebenarnya aku meniatkan untuk menitipkannya saja. Namun ia memintaku untuk ikut saja ke rumah bapak, katanya sedang ada acara makan-makan di sana. Bapak lagi open house untuk teman-teman yang sedang tidak pulang kampung. Entah dalam rangka tahun baru kah atau momennya saja yang kebetulan.