Senin, 13 Januari 2014

Perjalanan ke Bumi Lakipadada #Part 2 (Menyaksikan Upacara Rambu Solo)

Bumi Lakipadada, begitu orang menamai Tana Toraja. 


Dari balik patung Lakipadada aku meneropong jauh ke arah berlawanan. Imaji menari di atas bukit yang berlatar gereja Bukit Sion. Kubentangkan nafas panjang beralamat siap menjelajah alam Toraja yang penuh likukan jalan. Kutegaskan ini bukan perjalanan biasa. Bayang-bayang tradisi upacara kematian yang tak pernah kulihat sebelumnya, membuatku sedikit geming membayangkan bagaimana rupanya. Dan alamat pembuka perjalanan kami adalah ke tempat salah seorang rekan yang di sana tengah berjalan upacara Rambu Solo. Kakek yang meninggal ternyata sudah memasuki usia sembilan bulan kematian. Bagi orang baru sepertiku, cuat tanya mengambang-ambang di kepala.

Sepanjang perjalanan terbentang hijau alam Toraja. Bukit dengan hias gereja di hampir setiap puncaknya, menambah kekhasan Toraja. Mungkin itu sebab mengapa Toraja disebut bumi seribu gereja. Pula tata bangunan yang tak apik berdiri merupakan keindahan yang lain menurutku. Aku menyukai bagian itu, mengingat tipografi daerah ini memang berbukit dan berkelok-kelok. 

Belum jauh mobil kami meninggalkan Makale menuju Rante Pao, masih lekat kupandangi setiap hamparan hijau di sayap kanan dan kiri jalan. Pemandangan yang tak jarang didapati adalah perbicangan bangau di atas punggung kerbau. Persahabatan alam.



Rinai menyambut kedatangan kami hampir bersamaan dengan ucapan selamat datang rekan yang kami kunjungi. Disinilah tempat rambu solo sedang berlangsung. Ramai sekali rupanya. 
"Janganki kaget nah kak, ada banyak babi habis dipotong di dalam," katanya memperkenalkan suasana.
Baiklah, akan kucoba. Ucapku lirih.

Pintu masuk tak lagi jauh dari tempatku berdiri menunggu rombongan turun dari mobil. Selangkah demi selangkah aku meniti jalan ke lantang tempat kami akan dijamu. Baru saja aku berjalan beberapa langkah, aku sedikit tersentak, berusaha menetralkan suasana. Ah, itu tumpukan babi yang baru saja dipotong. Sebetulnya aku jijik melihatnya, namun untuk menghargai perasaan tuan rumah, aku mencoba menenangkan suasana hati. Benar saja, ini kali pertama aku melihat perihal semacam ini. 

Tempat ini disebut rante. Pada prosesi upacara Rambu Solo, jenazah disemayamkan di sini (rante = lapangan khusus tempat prosesi berlangsung). Di rante sudah berdiri beberapa lantang (rumah sementara yang terbuat dari bambu dan kayu) yang sudah diberi nomor. Lantang itu sendiri berfungsi sebagai tempat untuk menjamu para sanak keluarga yang datang nantinya.
untuk sementara, pakai foto narsis dulu (di rante)
Hari ini memasuki hari kedua prosesi rambu solo rupanya. Upacara rambu solo konon berlangsung selama beberapa hari bahkan bisa sampai berminggu-minggu. Upacara rambu solo bisa jauh lebih megah dari ini. Apalagi untuk kalangan bangsawan. Ada keharusan yang mesti dipenuhi sebelum berlangsungnya upacara ini. Ia adalah menyediakan kerbau dan babi. jumlah kerbau pun ada aturannya. menurut salah satu sumber, untuk kalangan bangsawan, kerbau yang diharuskan berkisar 24-100 ekor, bahkan bisa lebih dari 100 ekor. Sedangkan untuk kalangan menengah diharuskan menyembelih 8 ekor kerbau di tambah 50 ekor babi. Mereka percaya bahwa kerbau akan menjadi kendaraan mereka menuju puya. Itulah sebab mengapa jenazah bisa disimpan selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sebelum dikuburkan di tebing atau di tempat yang tinggi. Terjawab sudah tanyaku.

Selama belum diadakan upacara rambu solo bagi orang yang sudah meninggal, rupanya bagi masyarakat ia tidak serta merta diberi gelar orang mati. Ia dianggap sebagai orang sakit, maka dari itu ia dirawat dan diperlakukan layaknya orang yang masih hidup seperti menemaninya, menggantikan pakaiannya, menyediakan makanan, minuman dan rokok atau sirih. 

Teringat perbincangan dengan kak Riza (asisten dosen) yang juga menemani perjalanan kami, ternyata orang Toraja menganut kepercayaan bahwa "kehidupan ini adalah pintu menuju kehidupan yang sesungguhnya". 
Untuk itu, upacara rambu solo’ atau upacara penyempurnaan kematian menurut keyakinan orang Toraja, memiliki tujuan untuk menghormati dan mengantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam roh, yaitu kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah tempat peristirahatan, disebut dengan Puya.

Masyarakat setempat menganggap upacara ini sangat penting, karena kesempurnaan pelaksanaannya akan menentukan posisi arwah orang yang meninggal tersebut, apakah sebagai arwah gentayangan (bombo), arwah yang mencapai tingkat dewa (to-membali puang), atau menjadi dewa pelindung (deata). Maka dari itu, rambu solo’ bagi mereka merupakan kewajiban sehingga dengan cara apapun upacara ini akan dilaksanakan sebagai persembahan terakhir bagi orang yang meninggal.
**
Di hari kedua ini, akan berlangsung adu kerbau atau mappasilaga tedong. Ia adalah salah satu acara hiburan dalam prosesi upacara rambu solo. Memang tak seperti di bayanganku sebelumnya, kematian yang biasanya kental dengan kesedihan dan air mata, tidak jika di Toraja. Adu kerbau, menjadi keramaian dan kebahagiaan tersendiri bagi warga setempat dan tetamu yang datang. Bahkan adu kerbau ini masih lekat dengan taruhan uang oleh warga yang mau.

Merasa tak mau ketinggalan dengan keramaian adu tedong, hujan tak menghalangi keinginan kami untuk juga menyaksikannya.  

Setelah menyaksikan adu kerbau di tengah sawah, rombongan melangkahkan kaki kembali ke rante. kupikir setelah ini, rombongan akan segera pulang setelah berbasah-basahan menyaksikan adu kerbau tadi. Sangka yang sedikit melenceng rupanya, masih ada satu ritual yang kami ikuti, berdoa dan mendengarkan ceramah. Asing benar suasana yang sedang berlangsung. Ikuti saja, benakku.

Sebab kedinginan, tak ada yang bisa kulakukan. Sesekali menundukkan kepala sembari memeluk lutut, bahkan sempat terlelap sejenak. Cukup lama kami menanti selesai acara ini, ingin bergegas namun takut merusak kekhusyukan acara.

Kutanyai adik yang adalah teman kami dan cucu si kakek yang meninggal, apa ritual selanjutnya. Malamnya ternyata tradisi ma'badong. Ma’badong adalah tarian yang dipersembahkan kepada almarhum atau almarhuma yang telah meninggal dan diiringi dengan nyanyian ratapan (syair dan nada tertentu). Lalu besoknya, acara pemotongan kerbau dengan sekali tebas saja. 

Meski masih banyak tanya yang berlomba di kepala, satu yang pasti, dari setiap perayaan, ada hikmah tersendiri yang bisa kita petik. Rambu Solo memiliki nilai-nilai luhur dalam kehidupan masyarakat, di antaranya adalah gotong royong dan tolong-menolong. 

Referensi:

6 komentar:

  1. Wah, makash info yg d bungkus manis dngan tlisanx :-)

    BalasHapus
  2. kak tulip : makasih kaak :D

    Rahma : iya sama2 adik, pula makasih sudah dibaca :D

    BalasHapus
  3. Sulit membayangkan ekspresinya isma pas lihat kerbau yang sekali ditebas -_-'

    BalasHapus
  4. ahahaaaa, waktu itu saya datang terlambat, kak.. jadinya cuma lihat via video sja...
    Pas datang, sudah bertumpah ruah darah di tanah dan kerbau yang dilucuti tuannya.. disobek-sobek warga maksudku. nda tau bgmna menggambarkannya deh.. -____-

    BalasHapus
  5. Wew, luar biasa.
    Tapi makin lama, makin keren tawwa tulisannya isma.
    Lanjutkan :D

    BalasHapus