6/7/14 Larut malam, di bumi Qiabi
Hallo Sahabat baru, apa kabarmu?
(Sebagaimana sapaan awalmu, aku
pun ingin menyapa dengan cara yang sama.)
Oh iya, tentu aku harus menjawab
pertanyaanmu. Aku baik-baik saja. Semoga kau pun di belahan bumi sana, yang
mungkin sedang duduk menyeruput kopi di café baru langgananmu.
Maafkan, untuk balasan yang baru
saja bisa kulunasi. Kesibukan telah banyak menyita waktu. Meski sebetulnya dan
sebaiknya tak menjadikan itu alasan untuk tak kembali ke rumah. Tapi untuk kembali
bergumul dengan keyboard rasa-rasanya aku hanya ingin beristirahat saja.
Tentang ulang tahun yang beroleh
surat, ini menjadikannya jauh lebih istimewa dari tahun-tahun sebelumnya.
Beroleh kejutan dan kue ulang tahun dari sahabat memang kebahagiaan tersendiri,
tapi beroleh surat adalah kebahagiaan yang lain. Kalian, orang-orang yang
berhasil memenuhi keingininanku, aku sangat meyakini bahwa kalian adalah
orang-orang yang pandai merawat kebahagiaan orang lain.
Ulang tahunpun pernah sama sekali
tak istimewa buatku. Kala masih kecil dahulu, aku bahkan tak mengenal apa itu
ulang tahun. Baru saat duduk kelas tiga SD sepertinya aku baru mengetahui bahwa
berulang tahun itu ternyata berulangnya tanggal dan bulan kelahiran kita. Miris
skali yah. Tapi rasa-rasanya memang tak penting menjadikannya istimewa.
Budayalah yang sebetulnya menyihirnya menjadi istimewa.
Orang tuaku memang tak pernah
merayakannya. Mana ada perayaan ulang tahun di kampungku pada saat itu. Mereka bahkan sepertinya tak peduli dengan hari yang disebut ulang tahun itu. Bersama
teman-temanlah, akhirnya aku mengenal keistimewaan pada akhirnya. Berkumpul dan
merayakan dengan sangat sederhana kala SMP dahulu. Memanggil teman-teman dekat
ke rumah demi bercengkrama seharian di dapur membuat bakwan dan keripik pisang, serta
membuat rujak kedodong dan pepaya mengkal. Maklumlah, kami di kampung. Tapi itu menyenangkan, aku
jadi merindukan mereka. Oh iya, nama kampungku, Bontotanga, mungkin kau pernah
mendengarnya? Letaknya di Kecamatan Bontotiro, Kabupaten Bulukumba. Jika tidak,
mungkin kau familiar dengan Bira. Dari sana, jaraknya sekitar 45menit hingga sejam.
Tentang hari ulang tahun lagi,
mungkin kau pun pernah dilumuri terigu dan telur yang dipecahkan di atas
kepala? Budaya yang juga tak bisa hilang saat itu. Aku ingat benar, pernah
dikejar mati-matian oleh teman, saat aku berusaha menghindari beberapa butir
telur yang hendak mereka layangkan di atas kepalaku. Hingga nafas ngo—ngosan tidak
lagi mendukungku untuk menghindar dari mereka. Walhasil kepalaku serah pada
telur dan terigu itu. Nyaris setiap tahun – pada tiga
tahun di masa SMP, aku harus mengikhlaskan sepasang pakaianku di 22 Mei berbau
amis hingga harus direndam hingga berkali-kali. Ah, menjijikkan, tapi wajib
untuk dirindukan.
Masa SMA pun demikian, ada budaya
sendiri yang tentu sulit untuk kita hindari. Dikerjai teman-teman tentu saja. Biasanya
hingga berlinangan air mata. Tentu tak akan lupa pula masa mengenal cinta
monyet. Seseorang yang ditunggu untuk mengucapkan ucapan selamat ulang tahun dan
yang memberi kado adalah si dia yang katanya special. Ehm.
Tentu tak hanya ucapan dan kado-kado
kecil yang kita tunggu demi menjadikannya bahagia. Tak lain justru doa yang
terselip satu-satu lah yang menjadikan ulang tahun rasanya lebih kita nantikan.
Maka tiba saatnya, aku harus berbahagia saat mendengar atau sekadar mengetahui
ada namaku yang terselip dalam doa sederhana kalian dan mereka.
Ah, Suratmu, rupanya memaksaku kalut
dalam rindu pada kenangan masa lalu.
Hallo Sahabat baru - yang katanya tak
pandai membuat tulisan singkat.
Surat dan cerita yang kau alirkan
tentu mampu melengkungkan senyum di ujung bibir. Kau ringan skali menyusun
kekata. Sepertinya temanmu benar, kau
memang cerewet. Andai saja kau tak sok misteriuus, mungkin sesekali kau bisa mengajakku
ke café langgananmu untuk menyeruput kopi yang tentu saja bukan kopi hitam.
Sungguh aku tak menyukainya. Tapi ajaklah temanmu pula, agar kita tak
melakukannya berdua. hahaa
Sahabat bertinta merah.
Mengapa tak menyebutkan namamu?
Ah, benar-benar sok misterius. Mengapa pula tak membubuhkan alamat rumahmu
ataupun rumah keduamu? Aku ingin sekali membaca cerita-ceritamu. Tentu akan
menghibur kala penat melanda.
Penasaran yang mungkin tidak akan
terobati, sedikit clue yang kau berikan tidak mampu menjadikanku kepo untuk
mencari tahu. Ah, itu sebetulnya pembenaran saja. Clue yang kau berikan tentu
tak cukup detail untuk menemukanmu dengan mudah. Untuk apa pula? Seandainya kau
berkenan untuk ke rumahku ini, tentu kau akan berkenan membubuhkan jejakmu,
agar aku dapat menemukan cerita-ceritamu hai si kuli tinta.
Tentang kuli tinta dan deadline, biar
kutebak kau adalah seorang wartawan – yang sepertinya di media kampusmu. Jika
tebakanku salah,tentu kau tak akan keberatan untuk menegur kesalahanku. Ah,
deadline. Aku sungguh tak menyukai itu.Bagiku, berurusan dengan deadline sama
saja berkejar-kejaran dengan tekanan.
Lalu bagaimana cita-cita
sarjanamu? Saat aku menerima suratmu, aku pun sedang mengejar toga, kawan. Kala
itu aku sedang merindukan jadwal ujian meja. Dan 3 Juni aku berhasil melaluinya. Walhasil 25 Juni lalu, aku telah menjadi seorang sarjana. Bagaimana denganmu? Semoga kaupun telah menyelesaikannya. Namun
jika belum, tentu akan kuaminkan doamu
untuk menyelesaikannya pula tahun ini. Selamat berjuang kawan.
Sepertinya ini jawab dari note penutup
suratmu, “Menulis itu selayaknya menyampaikan pesan tersirat pada Tuhan.” Kita
telah melakukannya. Kau menulis untukku, dan aku menyampaikan doa pada Tuhan.
Kita tanpa sepakat telah saling mendoakan. Pesannya adalah doa kita.
Wassalam ^^
Yeah, keluarga kopi itu adalah Cappuccino. :)
BalasHapuswah sangat menarik nih karya tulisnya,
BalasHapuskirain saya isinya bakalan tentang macam-macam kopi, atau cara mengolah kopi yang benar, atau sebagainya, eh ternyata bukan
Itu diprosesnya bisa dengan mesin kopi kan ya gan? Apa dari setiap kopi itu mesinnya harus beda-beda? :o
BalasHapus