Selasa, 11 Februari 2014

Meneropong Tayangan Infotainment di Media

Andakah salah seorang penggila infotaiment? atau mungkin ibu anda? tante? om? bapak? adik? atau mungkin kakak anda? Apa yang sebenarnya Anda cari dari "pemberitaan" di infotainment. Ingin tahu gosip? update dan gaul? atau mungkin kepo saja, seperti kebanyakan anak gaul mengistilahkannya? 

Untunglah sejak dahulu kala saya tidak begitu kepo dengan urusan pribadi para artis. Lalu di suatu hari yang sudah lumayan lama, saya membaca sebuah buku karya prof andalan saya, Prof Deddy Mulyana, makinlah saya tidak melirik infotainment dengan tujuan semata-mata meng-kepoi artis. Oke, sekali lagi saya kurang kepo.Bagaimana dengan Anda? 

Prof Deddy pun membuat tulisan itu sebab pernah menonton infotainment pastinya, tapi bukan untuk meng-kepoi artis, tapi lebih kepada mengkritisi. Demi kemaslahatan ilmu pengetahuan. Halah. Saya tidak memaksa anda untuk menyetujui apa yang dikatakan prof. Deddy dan yang menjadi keyakinan saya pula.

Tak bisa dipungkiri bahwa infotainment yang populer disebut gosip itu adalah sebuah keniscayaan di setiap pijakan bumi. Namun adakah kita menyadari keberadaan infotainment di Indonesia kian membabibuta? Bahkan hampir tak kenal waktu. Bisa jadi hal ini disebabkan sifat budaya kita yang senang mengidolakan orang lain. Indonesia cenderung menganut budaya kolektivis. Dalam masyarakat kolektivis, Prof Deddy mengatakan diri (self) tidak bersifat unik atau otonom, melainkan lebur dalam kelompok (keluarga, klan, kelompok kerja, suku bangsa, dsb). Keberhasilan individu adalah keberhasilan kelompok, kegagalan individu pun kegagalan kelompok. 


Sebetulnya, budaya kolektivis itu baik, hanya saja jika segala hal kemudian dikolektifkan, maka nampaklah efeknya pada pemujaan yang berlebihan. manusia kolektivis  sangat peduli dengan peristiwa-peristiwa yang menyangkut kelompoknya. Sebab itu bertumbuh suburlah gosip di kalangan kolektivis. Pada akhirnya infotainment memperluas kegemaran masyarakat kita untuk bergosip. 

Lebih jauh prof Deddy menjelaskan bahwa masyarakat kolektivis lebih menyenangi hubungan vertikal (atasan-bawahan). Dengan kata lain, masyarakat koletivis lebih menerima perbedaan kekuasaan. Baik atasan maupun bawahan, senang menjaga jarak kekuasaan. Lalu budaya yang menjaga jarak kekuasaan yang tinggi, menggunakan pandangan Hofstede, adalah budaya maskulin. Sebab ini pula, masyarakat kita cenderung mengidolakan orang lain secara berlebihan. Artis menjadi salah satunya.

Jika kembali meneropong keberadaan infotaiment sebagai salah satu sajian informasi, mari menilik kembali bagaimana seharusnya penyajian informasi yang kemudian dikaitkan dengan ajaran Islam, yang bahkan kristen dan yahudi sekalipun kaya akan  resep-resep tentang bagaimana berkomunikasi dengan orang lain serta memberitakan kehidupan mereka. Dalam Islam sendiri, Al-Qur'an mengajarkan kita agar melakukan Qaulan Sadidan (perkataan yang benar). Pula al-qur'an mengajarkan kita agar berbaik sangka dan mengecek kebenaran suatu berita (tabayyun), berkata yang benar (jangan berbohong), jangan memperolok-olok orang lain, serta jangan bergosip atau membicarakan keburukan orang lain (ghibah).

Lalu bagaimana dengan fenomena infotainment yang membabi buta saat ini? Faktakah yang disebarkannya? Belum tentu, sering kali penyajiannya lekat dengan kata "diduga", "mungkin", "kabarnya", dsb yang pada akhirnya menuntun penonton untuk mengandai-andai. Lebih parahnya, yang disajikan adalah kehidupan pribadi seperti perceraian, perseteruan, dst  yang sama sekali tak perlu diketahui banyak orang. 

Sebetulnya yang dikhawatirkan dalam dunia pergosipan adalah keidentikannya dengan kebohongan yang tentunya dilarang oleh agama.

*Mari mengembalikan keputusan kepada diri pribadi kita masing-masing. Jika media sibuk menceritakan keburukan orang lain, maka mari kita sibuk memperbaiki diri.

2 komentar: