Minggu, 13 April 2014

Kenangan dan Pulang pada[nya]~[Mimpi]

Pagi  menuntun pandangku pada Moringa Oleifera di halaman rumah. Daunnya lebat dan mungil. Yang kuning berlomba embun meluruh ke tanah. Siapa yang lebih dahulu dimenangkan angin, ia akan dahulu bercumbu bumi. Kuamati sekujurnya, bagian batang ia keropos rupanya, di tengah-tengah nyaris kosong, namun daunnya masih subur dan lebat. Pantaslah orang menamainya pohon ajaib.

Melihat rupanya, aku teringat masa kecil dahulu. Sepertinya ia lebih tua dariku. Salah satu dari dua moringa yang ada di halaman rumah, adalah teman bermain kala kecil dahulu. Semasa daunnya lebat, ia adalah tempat persembunyian paling strategis saat main "Pole-Pole"-semacam permainan petak umpet (sebutan jawa-nya). Pohon yang satu lagi adalah pohon jambu biji yang berada tepat di samping rumah, meski hanya bagian batang paling bawah yang bisa kupanjati. Jika telah menggapai percabangan pada batangnya, disanalah aku bertengger, tak berani lebih tinggi. Selebihnya adalah berteriak pada teman yang berada jauh di atas sana untuk diambilkan buah yang matang.

picture from google
Iya, itu dulu. Saat masih belum ada pohon rambutan yang tak kunjung berbuah menjulang lebih tinggi dari pohon moringa itu. Saat pohon mangga di sisinya belum setinggi ujung ranting moringa. Juga saat umurku belum sebanyak ini. Waktu itu, aku masih si kecil yang suka menangis meraung-raung. Anak perempuan kecil yang pada musimnya, suka bermain wayang (permainan gambar) dan kelereng dengan kakak dan sepupu yang kebanyakan lelaki. Bermain monopoli hampir di tiap siang saat bulan ramadhan. Dan sesekali bersama teman perempuan bermain "bongkar pasang" dan boneka-boneka kecil yang kepalanya bisa dilepas (semacam barbie). Bermain bulu tangkis di pinggir jalan, main "Asing-asing", "ciko", lompat tali, dan juga "deppa" bersama teman yang kebanyakan perempuan. Ah, menyenangkan skali.

Sekarang? Sepi. Teman, sepupu, semuanya laiknya binasa di telan masa. Beberapa teman perempuan sudah menikah dan punya anak, bahkan sekadar bernostalgia pun agak sulit, sebagian habis sudah meninggalkan kampung mencari ilmu di kota. Sebagiannya lagi merantau mencari nafkah ke kampung orang. Sudah banyak yang kulewatkan di sini, beberapa pemuda dan orang tua telah berkalang tanah meninggalkan persinggahannya. 


Selain sibuk berkegiatan, Jadilah semua ini alasan mengapa aku tak pernah lama menikmati waktu di kampung kala libur semester.
**

Pagi ini, saat tengah sibuknya mengulang kenang-kenangan masa kecil, perhatianku direbut suara nyaring bapak kepala dusun. Tadinya, ia hanya hendak membeli rokok di kios ibu, namun karena ia mendengar suaraku, akhirnya ia menyempatkan diri untuk mampir sebentar, katanya untuk sekadar bertukarpikiran, apalagi pesta demokrasi masih hangat-hangatnya. Sepanjang perbincangan sebetulnya aku lebih banyak mendengarkan, kurasa ia memiliki banyak pengalaman. Meski beberapa pendapat aku tak menyetujui, sebab kami memiliki kacamata pandang yang berbeda. 

Cukup panjang perbincangan kami. Politik, sejarah, dan juga perselisihan-perselisihan di kampung beliau paparkan satu demi satu padaku, cukuplah aku paham betapa beliau seorang pengamat yang baik. Saksama kusimak cerita-cerita beliau, meskipun  sebetulnya aku tak begitu tertarik pada pembahasan politik.  

Di akhir, ditutupnya perbincangan, "Suatu saat, kembali lah, Nak. Untuk kampungmu!"

Aku hanya terpekur. Kurasa selama ini aku terlalu banyak memikirkan diri sendiri. Mendengar itu, tak juga aku menggeleng meski juga tak mengiyakan. Selama ini, aku malah sibuk memimpikan terbang ke banyak tempat. Tak tahu kapan pula memikirkan untuk benar-benar kembali.
*Ah, bilakah saatnya.. 

4 komentar:

  1. Sejauh-jauhnya bangau terbang, akhirnya ke pelimbahan juga.... :D
    Kampung halaman, tetap yang dinanti dan menanti....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lalalaaaa... Nyanyi lagu "Desaku"... ^^

      Hapus
    2. Semoga saja diiringi gitar ya? :D

      Hapus
    3. boleh, imam saja yg main gitar,.
      kalo saya nyanyi sambil main gitar biasanya nadanya kemana-mana, bos..

      Hapus