Selasa, 31 Desember 2013
Kamis, 12 Desember 2013
Wasiat Mahasiswa Tingkat Akhir
Dan saya merasa penting untuk menuliskan ini.
Anggap saja ini surat wasiat buat para mahasiswa tingkat akhir, yang mungkin juga wasiat buat diri saya sendiri.
Akan kuceritakan sedikit mengapa akhirnya menuliskan wasiat ini.
Beberapa hari lalu, kertas judul yang kuceritakan tempo hari sudah kembali ke empunya. Perkiraanku sedikit melenceng. Kupikir tidak ada judul yang akan menarik perhatianku. Ternyata "ada".
Judul yang kumaksudkan sebenarnya sudah kuberikan tanda centang, dan itu bisa diteliti dengan metode kualitatif. Dan memang itu yang kuharapkan. Itu artinya akan kukonsultasikan lagi pada dosen mata kuliah MPK.
Namun ada hal yang sesungguhnya membuat saya takut. Sudah kutargetkan untuk menyelesaikan studi pada bulan Maret 2014. Di satu sisi, penelitian yang kuinginkan adalah penelitian kualitatif yang memakan waktu sedikit lama dibandingkan penelitian kuantitatif. Akhirnya saya sedikit ragu dengan Maret. Sebenarnya mudah saja jika ingin penelitian yang pengerjaannya lebih cepat. Ambil saja penelitian kuantitatif. "Jangan susah kayak orang kampung" begitu versi Mimin ooo.
Anggap saja ini surat wasiat buat para mahasiswa tingkat akhir, yang mungkin juga wasiat buat diri saya sendiri.
Akan kuceritakan sedikit mengapa akhirnya menuliskan wasiat ini.
Beberapa hari lalu, kertas judul yang kuceritakan tempo hari sudah kembali ke empunya. Perkiraanku sedikit melenceng. Kupikir tidak ada judul yang akan menarik perhatianku. Ternyata "ada".
Judul yang kumaksudkan sebenarnya sudah kuberikan tanda centang, dan itu bisa diteliti dengan metode kualitatif. Dan memang itu yang kuharapkan. Itu artinya akan kukonsultasikan lagi pada dosen mata kuliah MPK.
Namun ada hal yang sesungguhnya membuat saya takut. Sudah kutargetkan untuk menyelesaikan studi pada bulan Maret 2014. Di satu sisi, penelitian yang kuinginkan adalah penelitian kualitatif yang memakan waktu sedikit lama dibandingkan penelitian kuantitatif. Akhirnya saya sedikit ragu dengan Maret. Sebenarnya mudah saja jika ingin penelitian yang pengerjaannya lebih cepat. Ambil saja penelitian kuantitatif. "Jangan susah kayak orang kampung" begitu versi Mimin ooo.
Rabu, 27 November 2013
Tidak Ada yang Lebih Keren dari "NURANI" 2010
Nurani, kami di jalan. 22 Nov 2013
Rasanya belum setengah perjalanan. Pick up yang akan mengantarkan kami ke sebuah desa kecil kelahiran kami, "Great10" di Kosmik, berjalan beriringan dengan senja di ufuk. Tak begitu laju, juga tak lambat. Saya dan Tiwi duduk di jok depan, mendampingi Ikbal yang sedang menyetir. Kak Paris sepertinya kesepian di bagian belakang. Hanya berteman barang-barang bawaan peserta NURANI. Sembari menikmati senja, perjalanan kami dihidupkan dengan percakapan-percakapan ringan yang akhirnya berujung curhat. Siapa yang bisa terlepas dari satu hal ini.
Di ujung senja, kami baru saja memasuki perbatasan Pangkep-Barru. Rasanya tidak sabar ingin bertemu Paccekke. Apa kabar kamu? Kamu masih ingat tiga tahun lalu? Disana pernah ada canda, tawa, senja, hujan, dia, kamu, kita, mereka, dan juga air mata. Entah satu hal itu, rasanya begitu sering terjadi setiap kali berkegiatan di luar kampus. Kosmik sepertinya begitu melo. Entah, atau mungkin saya saja yang selalu dapat moment haru?
Paccekke, here we are.
Tak ada yang berbeda dari tiga tahun lalu, disini masih lekukan gunung yang kemarin, masih lapangan luas dengan tugunya yang sama, gedung PNPM pun tidak berubah, bahkan masih berserak kotoran sapi disini. Bedanya, dulu saya adik, sekarang saya kakak dengan tiga adik.
Selasa, 19 November 2013
"Forum Lingkar Pena" (Ucapkan Perlahan dan rasakan sensasinya)
Pertama kali mendengar nama Forum Lingkar Pena, entah apa yang membuatku merasa tertarik dengan namanya. Keren saja menurutku. Forum. Lingkar. Pena. Serasa kita berada di dalam sebuah garis membentuk lingkaran, dan kita satu. Kita keren. iya kan? tidak seperti nama organisasi atau lembaga kebanyakan bukan? Dari namanya saja sudah nyastra. Bagaimana orang-orangnya yaa? tentu saja bergelut, belajar, dan mengolah sastra. Sama saja, sebutannya juga nyastra, meskipun banyak yang hanya sok nyastra. bisa jadi, aku adalah salah satunya.
Memang, Saat pertama kali kudengar nama organisasi ini, sudah kuancang-ancang untuk menjadi bagian di dalamnya saat kuliah nanti. Saat itu, aku masih duduk di bangku kelas tiga SMA. Kudengar pertama kali dari sepupuku yang kebetulan Ketua Forum Lingkar Pena ranting Unhas saat itu.
Awalnya, aku tak banyak menulis sebelum berkenalan dengan FLP (begitu singkatannya). juga sebelum duduk di bangku kuliah. ngomong2 tentang kuliah, sebenarnya tak punya banyak gambaran tentang kuliah di komunikasi itu seperti apa. Dan disinilah ternyata awal aku mengenal tulisan. Bukan, ini bukan zaman pra sejarah. Ini tentang sejarah isma banyak bersahabat dengan tulisan-tulisan. Entah memang karena jurusanku adalah jurusan komunikasi yang lekat dengan dunia jurnalistik atau tulis menulis, atau memang masa kuliah adalah masa dimana semuanya menarik untuk dituliskan. entahlah, mungkin keduanya.
Memang, Saat pertama kali kudengar nama organisasi ini, sudah kuancang-ancang untuk menjadi bagian di dalamnya saat kuliah nanti. Saat itu, aku masih duduk di bangku kelas tiga SMA. Kudengar pertama kali dari sepupuku yang kebetulan Ketua Forum Lingkar Pena ranting Unhas saat itu.
Awalnya, aku tak banyak menulis sebelum berkenalan dengan FLP (begitu singkatannya). juga sebelum duduk di bangku kuliah. ngomong2 tentang kuliah, sebenarnya tak punya banyak gambaran tentang kuliah di komunikasi itu seperti apa. Dan disinilah ternyata awal aku mengenal tulisan. Bukan, ini bukan zaman pra sejarah. Ini tentang sejarah isma banyak bersahabat dengan tulisan-tulisan. Entah memang karena jurusanku adalah jurusan komunikasi yang lekat dengan dunia jurnalistik atau tulis menulis, atau memang masa kuliah adalah masa dimana semuanya menarik untuk dituliskan. entahlah, mungkin keduanya.
Minggu, 27 Oktober 2013
PEREMPUAN TANA LE'LENG.
Di depan pintu gerbang Tana Toa aku berhenti. Mataku terpaku ke gerbang tua itu. Dan aku tahu aku melakukan itu bukan karena gerbang itu sangat menarik hatiku. Aku tumbuh di sekitar tempat ini. Aku bermain di sekitar tempat ini.
Mataku tertuju ke sana tapi aku seolah tak melihatnya. Mataku hanya menghindari mata orang-orang yang berpapasan denganku. Aku kenal mereka. Tapi mereka seolah tak melihatku. Bahkan ada yang meludah.
"Anak songka!" sekali sekali kudengar di antara mereka berkata. Tak takut. Tak peduli mereka tahu aku mendengarnya.
Aku mengeluh. Aku bertanya pada kakiku. Apakah aku akan terus melangkah ke sana?
Sudah berapa tahun. Dua ataukah tiga. Ataukah lima tahun aku meninggalkannya? Seolah baru kemarin, saat di suatu malam aku mengendap-endap ke luar dari pintu gerbang itu. Hanya berbekal hati yang marah. Hati yang kesal. Hati yang nekad. Tanpa restu bapakku, yang mungkin malah memberiku sumpah serapah dan kutukan. Tanpa uang tanpa bekal, kecuali hasil patekko-ku selama bertahun-tahun. “Di dunia luar itu harganya ratusan ribu, Ita,“ kata tetangga-tetangga. Aku percaya. Dan aku yakin berbekal itu semua aku akan bisa hidup bebas.
Hidup bebas? Aku merindukan itu. Bapakku tokoh di sini, seorang pemangku adat, dan sehari-hari orang menghormatiku, menghormati keluargaku. Tapi itu malah bagaikan penjara bagiku. Aku ingin bebas! Aku ingin menikmati dunia di luar Tana Toa, aku ingin merasakan hidup seperti si Iski, si Ina atau si Atun yang bebas belajar di kota. Ah. Aku begitu iri pada mereka yang berasal dari keluarga biasa, tak terlalu terkekang adat.
"Anak songka!" sekali sekali kudengar di antara mereka berkata. Tak takut. Tak peduli mereka tahu aku mendengarnya.
Aku mengeluh. Aku bertanya pada kakiku. Apakah aku akan terus melangkah ke sana?
Sudah berapa tahun. Dua ataukah tiga. Ataukah lima tahun aku meninggalkannya? Seolah baru kemarin, saat di suatu malam aku mengendap-endap ke luar dari pintu gerbang itu. Hanya berbekal hati yang marah. Hati yang kesal. Hati yang nekad. Tanpa restu bapakku, yang mungkin malah memberiku sumpah serapah dan kutukan. Tanpa uang tanpa bekal, kecuali hasil patekko-ku selama bertahun-tahun. “Di dunia luar itu harganya ratusan ribu, Ita,“ kata tetangga-tetangga. Aku percaya. Dan aku yakin berbekal itu semua aku akan bisa hidup bebas.
Hidup bebas? Aku merindukan itu. Bapakku tokoh di sini, seorang pemangku adat, dan sehari-hari orang menghormatiku, menghormati keluargaku. Tapi itu malah bagaikan penjara bagiku. Aku ingin bebas! Aku ingin menikmati dunia di luar Tana Toa, aku ingin merasakan hidup seperti si Iski, si Ina atau si Atun yang bebas belajar di kota. Ah. Aku begitu iri pada mereka yang berasal dari keluarga biasa, tak terlalu terkekang adat.
Langganan:
Postingan (Atom)