Senin, 25 Juni 2012

Julia dan Luna

Kamar ini tak lagi seperti sebuah kamar mahasiswa normal. Sepertinya lebih cocok menggambarkan anak berandalan yang sama sekali tidak peduli dengan estetika. Awalnya kamarku selalu rapi, bersih, dan juga wangi. Namun sekarang sangat jauh berbeda dengan hari-hari sebelum aku mengenal kedua temanku ini, Julia dan Luna. Dua buah helm miliknya, tas dan pakaian berserakan dimana-mana, gelas dan piring berantakan, puntung rokok bertumpuk dalam asbak, dan juga asap mengepul dimana-mana.
Meskipun mereka hampir tiap hari membuat kamarku ini berantakan aku sama sekali tak pernah melarangnya untuk datang. Sehabis kuliah mereka kerap kali beristirahat di kamarku. Tak pernah kurang dari dua bungkus rokok berisikan 32 batang mereka habiskan dalam waktu 5 jam. Mereka bukan tak punya orang tua, tapi tak ada perhatian dari kedua orang tuanya. Aku mengerti apa yang membuat Julia seperti ini. Dalam sehari dia bahkan tak sempat mengucap sepatah katapun kepada orang tuanya. Ayah dan ibunya sangat sibuk dengan perusahan mereka. Mereka sering kali pulang ketika Julia sudah tertidur pulas. Padahal Julia sangat merindukan kasih sayang orang tuanya. Tapi mana sempat ayah dan ibunya mengabulkannya. Ketika Julia bangun pagi, ayah dan ibunya sudah tak berada di rumah lagi. Tak heran kalau kelakuan anaknya di luar sana tak sedikitpun dia ketahui.
Berbeda dengan Luna yang memang berlatar belakang broken home. Sejak kedua orang tuanya berpisah dia mulai bergaul dengan teman-teman berandalannya. Tapi semenjak mereka sering mampir ke kamarku, tak pernah lagi dia bertemu dengan teman-temannya.


Dengan mengisap rokok kesembilannya, Luna melangkah ke luar kamar dan memandangi langit seraya menghembuskan asap berbentuk huruf O dan mengudara.  Kali ini Luna terdiam, raut wajahnya kemudian berubah. Wajahnya pucat padam. Dan kemudian dia berkata, “Aku ini wanita kuat tapi tak bisa selalu kuat, terkadang  aku berpikir untuk mengakhiri semua ini. Aku bahkan tak tau untuk apa aku hidup. Tak adalagi orang disekitarku yang peduli denganku. Hanya kau dan Julia. Trima kasih kawan, kalau bukan karena kalian mungkin aku tak berada di dunia ini lagi.
Sejujurnya aku tidak menyukai orang-orang perokok berada di sekitarku karena aku memiliki gangguan paru-paru sehingga tak bisa menghirup begitu lama asap rokok. Namun, aku mengerti, orang-orang seperti Julia dan luna butuh seseorang yang bisa membuatnya tenang, menghiburnya, dan mendengarkan setiap curahan hatinya. Awalnya aku tak ingin dekat dengan mereka, aku takut jikalau nantinya mereka membuatku berubah menjadi sama seperti mereka. Tapi semakin lama aku dekat dengan mereka, aku tak pernah sedikitpun memiliki rasa ingin mencoba mengisap batangan rokok yang dibawanya, mereka bahkan melarangku untuk menyentuh atau mendekati dunia sesat yang mereka naungi sekarang. Yah, Julia sempat berkenalan dengan dunia narkoba. Namun karena dia teringat akan kedua orang tuanya dia kemudian menjauhi teman-temannya, bahkan Julia pernah terbaring di rumah sakit selama berbulan-bulan.
Mengingat betapa berandalnya mereka, banyak orang-orang disekitarku yang melarangku bergaul dengannya. Cewek berjilbab sepertiku tak pantas untuk berteman dengan cewek berandalan yang tak punya tujuan hidup, begitu kata teman sekostku yang sering melihat Julia dan Luna bertengger dan merokok di dalam kamarku. Tapi aku tak peduli, aku bahkan ingin mengubah mereka menjadi lebih baik dari sekarang. Dan aku mengerti, mereka bukanlah orang yang tak paham dengan agama. Dulu Julia sekolah di pesantren dan Luna pernah mengikuti kajian-kajian Islam sewaktu SMA. Tapi keadaan yang membuatnya lupa akan kewajibannya.
Julia yang sedari tadi mengisap rokoknya tiba-tiba berdiri dari duduknya. Meraih tas ranselnya memasukkan semua barang bawaannya yang berserakan di lantai. Diraihnya kunci motor dari atas lemariku. Entah mengapa dia tiba-tiba bergegas untuk pulang. Tanpa basa basi Luna pun ikut membereskan barang-barangnya dan merapikan rambutnya. Rokok yang diisapnya kemudian dia buang. Jam baru menunjukkan pukul 9, sementara mereka tak pernah pulang kurang dari jam 10. Aku merasa ada sesuatu yang terjadi pada Julia.
“kamu kenapa Jul? Jam segini udah mau pulang, tumben. Rokoknya masih tersisa tuh.” Aku menatap Luna. Lunapun mengerdikkan bahunya pertanda tak tahu apa yang terjadi.
“ngga, aku mau pulang aja, udah lama aku ngga makan malam di rumah. Kangen sama masakan mbok.”
“ya udah, hati-hati yah.” Julia dan Luna akhirnya berlalu setelah cipika-cipiki denganku. Firasatku sangat kuat, ada sesuatu yang Julia sembunyikan kepadaku. Tapi apa? Tadi  semuanya baik-baik saja, dan tiba-tiba dia ingin pulang. Ah ini hanya perasaanku saja. Baguslah kalau sekarang Julia sudah mau pulang lebih awal.
Aku kemudian beranjak dari lamunanku. Berfikir yang tidak-tidak bukanlah hal yang berguna. Sebaiknya kubersihkan kamarku. Kugantung satu persatu pakaian yang berserakan di lantai. Ada jaket yang dikenakan Julia tadi. Mungkin dia lupa karena pulang dengan terburu-buru. dekat sigap kugantung jaket kesayangannya itu. Tiba-tiba jatuh sebuah bungkusan kecil berisi pil bermacam warna. Tanganku gemetar tidak karuan. Bukankah ini ekstasi? Obat yang bisa membuat orang mengalami ketergantungan secara psikologis, aku juga pernah membaca sebuah artikel di internet bahwa ekstasi juga membuat pemakainya sulit untuk berhenti atau mengurangi pemakaiannya.
Ya Allah, ternyata Julia masih memakai benda haram ini. Selama ini dia bilang tidak lagi memakainya. Perasaanku semakin tak jelas, aku takut Luna pun demikian. Ya Tuhan kapan mereka sadar dengan kelakuan mereka? Aku kemudian tersentak ketika handphoneku berdering. “Luna.”
“halo, assalamuallaikum”
“wa,,waalaikum salam. Riiiiiin .....”(suara tangis semakin jelas dari seberang sana)
“kamu kenapa Lun? Tenang dulu deh, terus kamu ngomongnya pelan-pelan” kataku dengan penuh kekhawatiran dan mencoba menenangkan Luna.
“aku lagi di Rumah sakit, tadi kami kecelakaan. Julia Rin, Julia. Julia skarang ga sadarkan diri. Kamu kesini yah. Di Rumah Sakit Gelora Jaya.
“iya aku kesana skarang”
Kuraih jaket yang dikenakan Julia tadi.
Kutemukan Luna di depan ruang ICU tengah terisak dalam keadaan berlumuran darah di bajunya. Kucoba menenangkan Luna, dan tiba-tiba dokter baru saja keluar dari ruangan itu.
“bagaimana,dok?”
"Maaf, kami tidak bisa menyelamatkan Julia.  Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Dia sempat sadar sejenak dan menitipkan ini untuk kalian," jawab dokter sembari menyodorkan secarik kertas dan sebuah tas mini milik Luna.
Di kertas itu bertuliskan 
"Ririn, gue cinta sama lo. Udah lama gue ngerasain ini, tapi gue takut elo marah dan ngejauhin gue. asal elo tau, Luna juga cinta sama elo, pas gue tau dia cinta sama elo, gue make barang haram itu lagi. Maafin gue juga kalo selama ini gue selalu ngerepotin elo. Untuk yang terakhir kalinya, gue mohon sama kalian berdua, tolong jaga persahabatan kita, dan buat Julia, ubah hidup elo, jangan sampai elo hidup dalam kesia-siaan kaya gue. kemarin gue mimpi ketemu nyokap kandung gue dan minta gue ikut sama dia. nyokap yang dirumah adalah nyokap tiri gue, dia emang ngga pernah peduliin gue, bokap gue sakit-sakitan, kelak kalo gue udah ngga ada, gue minta elo mau ngerawat dia, nyokap tiri gue selalu sibuk dengan irinya sendiri. selama ini gue boong kalo bokap gue sibuk dengan perusahaannya, dan gue juga minta sama elo, tolong kuburin gue di deket kuburan nyokap gue. alamatnya ada di balik surat ini. trima kasih kalian udah ngisi hari-hari gue.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar