Senin, 25 Juni 2012

Mata Sendu itu


Senja di cakrawala semakin merona. Guratan indah itu tak mampu membantuku menemukan taman indah dalam setiap langkahku. Kucoba menelusuri rintihan jiwa yang telah lama hilang, mencoba menguak senyum yang telah lama sirna. Namun, tak setegar harapku, hatiku selalu rapuh. Asa yang kutanam kini telah mati, tiada lagi mata sendu yang menyiraminya ketika mulai layu. Perlahan semakin layu, layu, kemudian tak lagi bernyawa.
Mata sendu itu enggan menatapku lagi. Bagaimana bisa dia menatapku, kalau mata itu kini telah menjadi kenangan, sekedar ingatan dalam benakku. Aku selalu merindukannya, tak ada yang bisa menggantikannya, bukan hanya sendu matanya, tapi siraman kasih sayangnya yang selalu menyirami taman indah dalam jiwaku. Sudah lama aku ingin menanam benih-benih keindahan itu kembali, tapi tetap saja aku tak bisa merawatnya. Sekali layu, tak ada lagi harapan untuk bisa bangkit.
Mata sendu itu tak mungkin lagi menatapku, menyirami hariku dengan kasih sayangnya. Tangan lembutnya pun tak mungkin lagi membelai rambutku, mengusap air mataku. Tak mungkin lagi aku memeluk dan terlelap dipangkuannya.

Tak henti kulangkahkan kakiku hingga langit merindukan bulan. Malam yang indah, namun indahnya senja tak lagi nampak. Keindahan malam mampu menggantikan keindahan guratan-guratan senja tadi, sama sekali berbeda dengan apa yang tengah kualami. Tak ada yang bisa menggantikan keindahannya, namun aku selalu berharap meskipun tak ada yang mampu menggantikannya, suatu saat aku bisa membuat taman baru yang mungkin bisa kupersembahkan demi senyummu di surga.
Langkahku tersentak, seorang anak berdiri di trotoar jalan seraya bernyanyi dengan merdu. Dia seumuran dengan adik kecilku, mungkin sekitar 7 tahunan, yang juga tidak lagi ada di sampingku. Aku duduk di trotoar jalan seraya memperhatikan betapa antusiasnya anak sekecil itu menjalani hidupnya di pinggiran jalan. Dia kemudian mendekatiku dan bernyanyi untukku. Kuberikan beberapa koin dari sakuku, dan membayangkan jika anak itu adalah aku. Agar aku tegar. Tapi tetap saja, taman hatiku tetap saja layu, tanpa siraman cinta ibuku. Aku kemudian bertanya pada anak kecil itu, “kamu disuruh ibumu ngamen?”.
Dia menjawab, “Ibuku sudah meninggal k’, semenjak usiaku 5 tahun”
Aku tersentak, mataku sembab. Aku tak menyangka anak sekecil ini bisa tegar tanpa sosok seorang ibu dalam hidupnya. Sementara aku yang sudah 17 tahun masih saja menangis seolah tak mampu menjalani ratapan kehidupan. Mimpi pun rasanya enggan. Aku terlalu rapuh, tak seharusnya aku seperti ini, seharusnya aku malu dengan anak seumuran dia.
Sudah dua tahun, ayah, ibu, dan Rasya adikku meninggalkanku sendiri di dunia ini. Sejak saat itu senyum bahagia tersihir menjadi senyum dalam penuh luka. Aku bahkan tak pernah lagi bermain dengan teman-temanku selama dua tahun ini.
Kuhadapkan wajahku ke langit, memalingkan kedua tanganku seraya berdoa untuk ketentraman ibu di surga, berlarut dalam kesedihan membuatku lupa akan kewajibanku pada sang pencipta. Padahal semasa ibu masih bersamaku, aku tak pernah semurka ini, aku selalu ingat akan kewajibanku. Di saat hilaf, ibu selalu mengingatkanku. Menyiramiku dengan lemah lembut bahasanya.
Kembali aku melangkahkan kakiku, menapaki jalan yang membuatku banyak belajar tentang arti hidup. Di dekat sebuah gedung setengah jadi, aku melihat seorang wanita seumuranku. Dia mengangkat beberapa ember semen layaknya kuli bangunan. Keringatnya bercucuran. Aku mendekatinya,”untuk apa kamu bekerja sekeras itu padahal kamu ini perempuan. “Aku ingin menghadiahkan sebuah jilbab baru yang sangat diinginkan oleh ibu. namun tak punya uang untuk membelinya. Takutnya ada yang membeli jilbab itu lantas ibu tak bisa memilikinya,” jawabnya.
Aku teringat dengan kisah Al-Fadhal bin Yahya yang pernah diceritakan ibu kepadaku. Bahwa Yahya adalah orang yang sangat berbakti kepada orang tuanya. Diriwayatkan bahwa ayah Yahya tidak pernah berwudhu kecuali dengan air hangat. Suatu ketika Yahya dan ayahnya dipenjara. Karena baktinya kepada ayahnya, Yahya yang terlelap dalam tidurnya tiba-tiba mendekati botol minyak yang ada di dalam penjara kemudian mengisikan air ke dalam botol itu dan mendekatkannya pada lampu. Begitulah Yahya hingga waktu subuh tiba. Semua itu dilakukannya demi mengabdi kepada ayahnya agar ia berwudhu dengan air hangat. Aku bahkan belum pernah melakukan sesuatu untuk ibu.
Malam semakin larut, bintang semakin bertaburan. Kurasa hidupku mulai berwarna kembali. Saatnya bangkit dari kesunyian. Banyak orang yang menantikan keceriaanku yang telah lama hilang. Kurasa malam ini cukup membuatku terpanah akan warna warni dunia. Masih banyak orang di luar sana yang lebih terpuruk hidupnya namun tetap semangat dan menikmati karunia sang Maha pengasih.
Kakiku kemudian menapaki jalan menuju arah rumah. Lagi-lagi aku menemukan sebuah pelajaran berharga. Kulihat seorang anak lelaki sedang memaki ibunya di pinggir jalan, entah apa yang mereka perdebatkan. Ketika dia ingin berlari, ibunya kemudian meraih tangan sang anak. Tapi dia menepisnya. Dengan seketika sebuah truk berukuran besar beroda delapan tiba-tiba menghamburkan tubuhnya.
Ku tinggalkan tempat itu. Aku berlari sekuat mungkin. Air mataku tak hentinya menetes. Aku teringat dengan kecelakaan yang menimpaku sekeluarga, menewaskan ayah, ibu, dan adikku. Aku tak kuasa menahan air mataku. Aku tak kuasa menahan sesak dalam dadaku. Di sebuah jembatan aku duduk memeluk lutut dan menundukkan wajahku seraya menangis tersedu-sedu. Semua kisah tentang mereka hadir dalam ingatanku. Canda tawa mereka terdengar mengalun di telingaku. Perlahan penglihatanku kabur dan tak tau apa yang selanjutnya terjadi.
Kubuka mataku perlahan. Kupandangi sekitarku. Sama sekali aku tak tau tempat ini. Kulayangkan pandanganku ke sebuah foto keluarga di dinding kamar itu. Aku mengenali salah satu dari foto itu. Dia adalah Ranu. Teman baikku. Teman yang selalu menghiburku, namun tak lagi kuhiraukan selama dua tahun belakangan ini.
Pintu kamar, tiba-tiba terbuka. “Kamu udah siuman yah ca? Nih, susu buat kamu.” Seraya menyodorkan segelas susu untukku. Aku tau kamu sedih ca’, tapi kamu juga mesti jaga kesehatan kamu.”
“eh Ica udah sadar yaa.” Suara lembut itu mengingatkanku dengan suara ibuku.
“iya tante, makasih ya, Tan, Ranu. Aku ngga tau gimana ngebalasnya.”
“hmmm, kalo kamu mau membalasnya, kamu tinggal disini aja bareng tante sama Ranu, dari dulu kita udah nganggap kamu keluarga sendiri ko’.
“iya, ca’. Kamu tinggal di sini ajah, biar aku ngga kesepian. Sekarang mamaku mama kamu juga. Sekalian tuh ajak mbo’ Asih tinggal bareng kita.
“Makasih, tapi aku ngga mungkin ninggalin rumah. Rumah itu adalah kenanganku bersama keluargaku,” jawabk seadanya. Sesungguhnya bukan itu yang membuatku tak mau tinggal bersama Ranu. Aku hanya teringat dengan omelan mama padaku saat ia masih hidup. Saat itu liburan semester. Ku minta teman priaku untuk menjemputku. Sebelumnya aku sudah meminta izin pada mama. Aku akan ke rumah temanku. Izinku pada mama aku akan pulang sore. Tapi aku malah pulang malam.


1 komentar:

  1. Ntah dari mana inspirasi tulisan di atas muncul . . .
    mengingatkan pada seorang inspirator hdpku . . .
    semangat . . .

    BalasHapus