Wajahnya merah padam, mungkin sebentar lagi meledak. Pandangannya begitu tajam ke arah pria yang tengah menundukkan pandangannya itu.
“Keluar dari ruangan saya, kamu sudah berani memancing emosi saya.”
Dilemparkannya sejumlah kertas beserta map merah ke arah pria itu. Di Bagian depan map bertuliskan namanya. Praditya Mahardika. Seorang Mahasiswa Kehutanan di universitas kecil ini. Universitas Kecil, tapi lumayan besar songongnya orang-orang di dalamnya. Ia tak habis pikir universitas sekecil ini saja, kebobrokannya luar biasa, bagaimana dengan universitas yang jauh lebih besar di luar sana. Selama menginjakkan kaki di kampus kecil ini, belum pernah satupun ia menemukan seorang birokrat kampus dengan sesungging senyumnya. Sombongnya minta ampun. Jangankan tersenyum, menjawab pertanyaan mahasiswa pun tak pernah ramah. Apa memang ada pelatihan kepribadian antagonis untuk setiap birokrat di kampus ini? Begitu pikirnya tiap kali bertatap muka dengan birokrat-birokrat kampusnya.
Mahardika memang salah seorang aktivis kampus. Banyaknya kegiatan yang telah dilaluinya selama dua tahun menjadikannya kebal dengan ocehan-ocehan dan ketidakramahan mereka. tapi kali hatinya benar-benar teriris, tak pernah sekalipun seseorang memperlakukannya serendah apa yang dilakukan ibu berjilbab yang ada di depannya detik ini. Lembaran-lembaran kertas ini menjadi bagian dari sejarah kehidupannya. Seandainya bukan karena orang tuanya, ia tak akan pernah mengemis pada wanita berjilbab nan sombong ini.
Dipungutnya lembaran kertas itu dan merapikannya kembali ke dalam map merah bertuliskan namanya.
“Maaf Ibu, saya tidak bermaksud mengeluh di depan Ibu”
“saya tidak suka mahasiswa seperti kamu, baru di suruh ini itu sudah banyak bicara. Kalau kamu mau yang gampang, cari beasiswa di tempat lain, jangan disini, kamu kira gratis itu gampang?”
“astagfirullah Ibu, saya sama sekali tidak mengeluh, saya hanya....”
“Sudah cukup...” diraihnya handpone yang ada di atas meja dan beranjak keluar dari ruangannya. Belum sempat melewati pintu ruangannya, ia berbalik arah dan kembali ke meja kerjanya.
“saya minta maaf, Bu. Saya benar-benar minta maaf. Demi Allah saya mohon maaf”
“kalo kamu macam-macam di depan saya, saya bahkan bisa menjadi macan. Ambil berkasmu, terserah mau kamu ubah atau batal mengumpulkan berkas, silahkan.”
“iya, Bu. Saya mohon maaf.” Kemudian pelan kembali beristigfar. ”astagfirullah”
“Sebagai sesama muslim kamu saya maafkan, sudah seribu kali kamu minta maaf, saya capek. Sudah jangan astagfirullah terus, percuma, hati saya tidak akan luluh begitu saja. Kamu pikir astagfirullah kamu itu bisa memuluskan berkasmu?
Benar-benar keterlaluan, hal-hal yang semestinya tak diucapkan pun disemburkan begitu saja. Mahar yang tadinya tertunduk kini mengangkat pandangannya. Dengan berusaha tetap ramah kepada si Ibu, diraihnya tas ransel di sampingnya dan keluar dengan wajah sangat kecewa. Belum jauh dari ruangan tadi, ia teringat akan sesuatu. Map plastik berisikan tugas dan transkrip nilainya tertinggal dalam ruangan neraka itu. Mau tak mau Mahar harus kembali untuk mengambilnya. Namun kakinya sentak terhenti ketika terdengar perbincangan dari dalam ruangan tadi,
Dari sela-sela pintu, terdengar suara samar-samar.
“oh jadi kamu ini ponakannya pak rektor yah, baru saja pak rektor menghubungi saya. Jadi berkas kamu ini biodatanya kurang lengkap, nak. Tapi ini persoalan kecil. Kamu tinggal tunggu pengumuman saja yah.”
Mahar benar-benar kecewa dengan nepotisme kampus. Orang yang seharusnya memiliki hak, mesti mati-matian memperjuangkan haknya. Segala cacian memang tak menjadi masalah jika ada kesalahan yang diperbuat, tapi persoalan sepele yang dilakukannya tak semestinya mendapat perlakuan demikian. Hanya dengan kalimat “ini sudah lengkap ko’, Bu. Kemarin sore ibu juga sudah mengecek berkas saya, bukan?” Ibu mencaci makinya dengan sangat keterlaluan. Sementara seorang ponakan bapak rektor dilayaninya begitu ramah.
Batinnya mendesus. Kampus macam apa ini? Nepotisme dimana-mana. Untuk apa mengkritik Negara kalau ternyata kebobrokan kampus sendiri tak mampu dikritisi. Tempat menempa ilmu pun bermasalah, bagaimana negara bisa lepas dari masalah. Kejujuran ternyata menjadi kemustahilan demi sebuah kursi jabatan. Orang kecil sepertinya bagaimana mungkin bisa meluluhkan hati si Ibu, orang tuanya hanya seorang kecil di atas kursi kayu tak berharga, yang hanya bisa menghasilkan sedikit uang demi kuliah anaknya. Bukan kursi empuk para pejabat kampus seperti yang mereka miliki, dan bukan orang besar yang hanya dengan sesungging senyum mampu memuluskan pengurusan beasiswa anaknya. Dalam hati, Mahar berpikir seandainya ia adalah anak seorang pegawai di ruangan itu, pasti akan dengan gampang berurusan dengan birokrasi-birokrasi kampus.
Hampir saja ia melupakan niatnya kembali ke ruangan itu. Beruntung kepalanya tidak terjedot pintu saat mahasiswa di ruangan itu membukanya. Dengan tergesa-gesa ia membenarkan posisi berdirinya dan segera memasuki ruangan untuk mengambil map plastik bening miliknya.
“Maaf, Bu, map saya ketinggalan.”
Keangkuhan membuatnya enggan berucap sepatah kata pun. Baru dengan jabatan setinggi ini sudah membuatnya buta akan orang-orang kecil yang butuh dikasihi. Tak apalah, setidaknya orang-orang seperti si Ibu menyadarkan saya bahwa orang kecil jauh lebih kaya jika hatinya bersih. Dengungnya dalam hati.
Penulis Adalah Mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi
Dan Anggota Forum Lingkar Pena Ranting Unhas
desain yg dulu lebih bagus de,,ko diganti
BalasHapusSepakat! Saya juga muak dengan birokrasi kampus! Muak bermanis-manis di depan mereka, jadi lebih memilih keluar saja dari kampus tempatku berkuliah dulu. Dan senangnya saya gak perlu memakai topeng kepalsuan lagi.
BalasHapustemplatenya mau diganti lagi ko' k'.. yang ini cuma template sementara ko'....
BalasHapusYah, mmemang begitulah adanya. Bahkan mahasiswa berprestasipun belum tentu diperhatikan. Hadeh hadeh..
BalasHapushayyyyyyyyyyy
BalasHapusSaya sangat terpukau dengan bahasa yang anda gunakan. bagaimana anda menulis dan menyampaikan sebuah pesan kepada pembaca. saya akan sering-sering datang kemari untuk membaca tulisan-tulisan anda selanjutnya. Salam hangat. :D
BalasHapusSayang, aku gede :D
BalasHapusini bagusnya dikirim ke identitas
BalasHapus