Selasa, 24 April 2012

Sepotong Bronis Coklat


Hari hampir petang, sedikit lagi matahari lelap dalam peraduannya. Barisan garis jingga nampak elok memandangi nasib seorang wanita tua yang sedari tadi duduk manis di koridor kampusku. ini bukan pertama kalinya kulihat wanita tua itu. Wajah teduh dengan garis umur di wajahnya menambah pilu tatkala tiap hari ia harus menapaki sepanjang koridor kampusku. Kuperkirakan umurnya sekitar 70an keatas. Seperti orang berumur kebanyakan, postur tubuhnya tak lagi tegap. Jalannya pun sudah terlihat berat. Beban umur mungkin. Satu hal yang kusuka darinya, senyum selalu mekar di wajahnya.
Dari kejauhan kupandangi ia tengah merapikan sejumlah uang kertas yang kebanyakan uang seribuan. Sesekali, ia mengelus gulungan rambut putih keritingnya kemudian kembali menghitung uang yang dipegangnya. Mungkin ia lupa jumlah yang telah dihitungnya. Kulihat ia mengulang hitungannya selama tiga kali. Tak salah lagi, uang-uang itu adalah hasil jualan kue seharian.
Hari semakin petang, angin dingin berhembus kencang. Lalu lalang mahasiswa pun semakin berkurang. Sayangnya rintik hujan mulai menyapa. Padahal cuaca nampak aman-aman saja.  Kuurungkan niat untuk pulang, lalu perlahan kudekati wanita tua itu. kulihat di kotak kuenya, masih tersisa dua potong kue bronis coklat. Kusodorkan dua lembar uang kertas dua ribuan lalu kumakan kedua potong kue itu.
“trima kasih, cu.” Katanya sembari menebarkan senyumnya.
“iya sama-sama, nek.”
Rintik hujan belum juga urung dari langit. Kuhabiskan kedua potong kue itu dengan bumbu kisah masa lalu si nenek. Sembari membereskan barang bawaannya, nenek dengan gamblang menceritakan perjalanan hidupnya sampai ia harus berjualan kue setiap hari di kampus yang letaknya jauh dari rumahnya.
Ingin rasanya menyuruhnya berhenti dari pekerjaannya, tapi apa hakku? Bukan itu yang kumaksud, iba saja melihatnya yang rentah mesti tertatih tatih demi menjual potongan kue yang dibuat anaknya. Koridor demi koridor mesti ia lalui setiap hari. Peluhnya adalah rezeki baginya. Nenek yang malang, sisa umurnya mestinya ia habiskan di rumah bercanda dengan cucu-cucunya.
“nek, kenapa jualannya jauh skali dari rumahnya nenek? Kan ada kampus juga yang lebih dekat dari rumahnya nenek.”
“nenek memang sudah lama jualan di sini, cu. Kalo mau pindah lagi, nenek kan belum kenal tempatnya. Kasian nenek sudah tua, nenek susah mengenal tempat yang baru.”
Tiga kali pindah angkot baru bisa sampai di rumah. Kasian nenek, sudah capek, untungnya pun banyak terpotong pastinya untuk bayar enam kali angkot dalam sehari untuk bolak balik kampus.
“Begini lah hidup, cu. Kadang manis kadang pahit. Untuk dapat yang halal yah mesti bersusah-susah.”
Nenek hidup dengan seorang anak perempuan dan juga cucunya. Suaminya telah meninggal sejak lama. Sementara anaknya ditinggal kawin oleh suaminya. Usaha-usaha sebelumnya bangkrut karena ditipu. Hingga akhirnya jualan kue adalah keputusan terakhir karena kurangnya modal dan juga umur yang sudah petang.
Usaha konveksi miliknya dulu lumayan besar dan dikerjakan oleh banyak pekerja, namun karena ditipu, akhirnya semuanya bangkrut. Ia juga sempat merantau ke beberapa daerah, dan akhirnya kembali lagi ke tanah kelahirannya sendiri untuk menawarkan manisnya bronis buatan anak tercintanya.
*******
            Hari sebentar lagi gelap. Kuminta nenek untuk segera pulang. Langkahnya renta, semakin lama semakin jauh. Kupandangi dalam langkah kakinya. Semoga ia bisa sampai ke rumahnya dengan selamat dan mencium pipi cucunya.
            Sepanjang jalan pulang, kukuatkan tekad untuk menjadi orang yang sebaik-baiknya. Tak menyia-nyiakan masa muda dan selalu mengusahakan yang terbaik. Memang, adakalanya, hidup itu manis dan adakalanya hidup itu pahit. Tapi alangkah indahnya jika yang manis ada di akhir.
            Adzan magrib berkumandang, kulangkahkan kakiku semakin cepat. Dari arah belakang kudengar sayup suara ibu setengah baya memanggilku. Kuhentikan langkah lalu berbalik ke arahnya. Benar, ia masih setengah baya, namun jiwanya terlihat renta. Kasian. Nenek yang tadi saja, kuyakin umurnya masih jauh lebih tua dari ibu yang dihadapanku ini masih mampu mencari nafkah dengan menjual kue. Tapi sayang ibu muda ini menghabiskan waktunya dengan berkeliling membawa sebuah buku kecil, bermodalkan raut wajah meringis, untuk mendapatkan serpihan uang.
            Dunia memang tak satu warna, ada orang dilimpahkan kekuatan dan umur tapi disalahgunakan. Seandainya ibu ini sedikit tersenyum, kemudian mejajakan kue pasti ia akan terlihat manis dan bersemangat. Dengan wajah meringis seperti ini, pribadiku, bukan menimbulkan rasa iba untuk memberi, tapi malah rasa kasian karena menyia-nyiakan kekuatannya yang masih bisa iya manfaatkan untuk berusaha banyak.
            Wanita ini pun bukan pertama kali aku melihatnya. Bahkan hampir setiap hari, hanya saja aku selalu berusaha menghindarinya, bukan karena tak mau berbagi. Tapi karena tak suka melihat raut wajah yang kupikir sengaja iya pasang agar lebih kumal, lalu merintih meminta sumbangan, berpura-pura menyodorkan buku kecil untuk dijual. Padahal berkali-kali kuperhatikan buku yang dibawanya adalah buka yang sama, dan tak pernah laku. Kupikir ia hanya menjadikannya pelengkap seolah-olah ia ingin menjual buku itu. Tapi tetap saja ini yang sering dibilangnya “tolong sumbangan sedikit, nak. Kamu berlebih. Sedikit saja.” Kupikir, apa bedanya dengan mengemis.
            Dunia memang kadang-kadang sulit untuk ditebak. Terlalu banyak motif di dalamnya. kadang-kadang orang menginginkan enaknya saja tanpa mau berusaha.
           

2 komentar: