taken from google |
Beberapa hari lalu saya membaca sebuah artikel di salah satu Koran online yang mengatakan bahwa minat baca masyarakat Indonesia masih sangat rendah. Menurut menteri bidang kesejahteraan rakyat H.R. Agung Laksono, persentase minat baca masyarakat Indonesia hanya sebesar 0,01 persen. Artinya dalam 10.000 orang hanya 1 orang saja yang memiliki minat baca.
Konon, di berbagai literatur banyak dijelaskan bahwa rendahnya minat baca masyarakat Indonesia disebabkan oleh banyak hal. Di antaranya sistem pembelajaran belum membuat siswa ataupun mahasiswa harus membaca buku lebih banyak dari apa yang diajarkan dan mencari informasi atau pengetahuan lebih dari apa yang diajarkan; internet yang seharusnya mampu membawa dampak peningkatan minat baca ternyata tidak pada perannya, ternyata malah disalahgunakan karena sifatnya yang visual; banyaknya hiburan TV dan permainan di rumah ataupun di luar rumah yang membuat perhatian anak ataupun orang dewasa untuk menjauhi buku; banyaknya tempat-tempat hiburan seperti taman rekreasi, karaoke, mall, supermarket, dan lain-lain;, buku dirasakan masih sangat mahal dan begitu juga jumlah perpustakaan masih sedikit dibandingkan dengan jumlah penduduk yang ada dan kadang-kadang letaknya jauh, serta masih banyak lagi alasan mulai dari A sampai Z yang dijadikan alasan rendahnya minat baca di Indonesia.
Pandangan pribadi saya, alasan-alasan seperti ini tak perlu untuk dibesar-besarkan. Meskipun hal ini adalah sebuah hasil penelitian, maka kita perlu mengembalikan segala halnya kepada diri pribadi kita. Student Center learning (SCL) yang diterapkan kampus UNHAS sesungguhnya adalah upaya meningkatkan minat baca mahasiswanya, namun apakah alasan sistem pembelajaran masih patut untuk kita persalahkan? Sistem SCL ini ternyata belum mampu meningkatkan minat baca bagi mahasiswanya. Budaya plagiat ternyata masih membabi buta. Lalu apakah ini alasan kita untuk membenarkan alasan kedua? Bahwa internet lebih banyak digunakan untuk kepentingan lain karena sifatnya yang visual. Begitu pula alasan-alasan klasik lain seperti menyalahkan TV, permainan, tempat rekreasi, mall, dan lain sebagainya adalah benar-benar penyebab rendahnya minat tersebut? Lalu apakah kehadiran fasilitas-fasilitas seperti itu harus dilenyapkan? Lalu apakah ada jaminan jika fasilitas tersebut sudah tidak adalagi maka masyarakat Indonesia akan memiliki minat baca yang tinggi? Saya berani mengatakan TIDAK untuk alasan-alasan klasik seperti ini.
Mengapa saya mengatakan tidak? Ada baiknya kita bercermin kepada Negara Jepang yang memiliki tingkat baca yang tinggi. Sementara Negara Jepang bukanlah Negara yang tidak memiliki taman bermain, internet, mall, dan lain sebagainya, bahkan Negara Jepang jauh lebih memiliki segalanya daripada Negara Indonesia. Bahkan bukan dari minat bacanya saja, tapi banyak hal dimana mereka lebih unggul daripada Negara kita. Padahal jika dibandingkan dari segi kecerdasan, masyarakat Indonesia bukanlah orang yang bodoh. Saya pernah membaca sebuah artikel tentang kecerdasan orang Indonesia dan Jepang. Konon, orang Indonesia dan Jepang diberikan beberapa tes selama beberapa hari dan hasilnya pun tak jauh berbeda. Artinya apa? Kecerdasan masyarakat Indonesia dan masyarakat Nihon itu memiliki kecerdasan yang bisa dinilai setara. Lalu jika dibandingkan dari segi geografisnya, Indonesia begitu luas dan hijau, sementara Jepang adalah Negara yang tanahnya tak sesubur Indonesia. Disana lebih sering terjadi gempa. Lalu apa yang membuat mereka jauh lebih unggul dibandingkan Negara Indonesia? Tak lain adalah mental dan kesadaran pribadi mereka.
Sifat dasar orang Jepang adalah tekun dan pantang menyerah. Sejarah membuktikan bahwa Jepang adalah Negara yang tahan banting. Puluhan tahun di bawah kekaisaran Tokugawa yang menutup akses ke luar negeri, Jepang sangat tertinggal dalam teknologi. Ketika restorasi Meiji datang, bangsa jepang kemudian beradaptasi dan menjadi faslearner. Kemiskinan sumber daya alam juga tidak membuat Jepang menyerah. Tidak hanya menjadi pengimpor minyak bumi, batu bara, biji besi dan kayu, bahkan 85% sumber energi Negara Jepang berasal dari Negara lain, termasuk Indonesia. Rentetan bencana pun pernah melanda Jepang seperti yang terjadi di tahun 1945, dimulai dari bom atom di Hirosima dan Nagasaki disusul dengan kalahnya Jepang dalam perang dunia II ditambah lagi dengan adanya gempa bumi besar di Tokyo ataupun Tsunami yang sering menghampiri Jepang. Ternyata jepang tidak habis karena mereka tetap bangkit dan akhirnya menjadi negara yang maju.
Selain pantang pantang menyerah, orang Jepang adalah pekerja keras. Mereka selalu mempunyai keinginan untuk selalu belajar dan memperbaiki hasil kerja mereka. Keinginan untuk selalu belajar ini tercermin pada tingginya budaya baca dan tulis masyarakat Jepang. Menurut data Bunkanews (situs khusus tentang media massa berbahasa Jepang), jumlah toko buku di Jepang adalah jumlah toko buku di Amerika Serikat. Sementara Amerika Serikat adalah 26 kali lebih luas dan berpenduduk dua kali lebih banyak dari Negara Jepang.
Jangan kaget kalau anda datang ke Jepang dan masuk ke densha (kereta listrik), sebagian besar penumpangnya baik anak-anak maupun dewasa sedang membaca buku atau koran. Tidak peduli duduk atau berdiri, banyak yang memanfaatkan waktu di densha untuk membaca. Banyak penerbit yang mulai membuat man-ga (komik bergambar) untuk materi-materi kurikulum sekolah baik SD, SMP maupun SMA. Pelajaran Sejarah, Biologi, Bahasa, dsb disajikan dengan menarik yang membuat minat baca masyarakat semakin tinggi.
Budaya baca orang Jepang juga didukung oleh kecepatan dalam proses penerjemahan buku-buku asing (bahasa inggris, perancis, jerman, dsb). Konon kabarnya legenda penerjemahan buku-buku asing sudah dimulai pada tahun 1684, seiring dibangunnya institute penerjemahan dan terus berkembang sampai jaman modern. Biasanya terjemahan buku bahasa Jepang sudah tersedia dalam beberapa minggu sejak buku asingnya diterbitkan.
Budaya membaca dibangun melalui kebijakan penyadaran pentingnya membaca. Hal ini sengaja direncanakan, ditanamkan, dan ditumbuhkembangkan secara serius dan berlanjut. Kesadaran membaca dituntut melalui disiplin tingkat tinggi. Budaya baca memang menggelora ke seluruh lini kehidupan masyarakat Jepang. Ia diterima dan dipertahankan karena meyakinkan secara logis sebagai obor penerang masa depan.
Benar-benar mengagumkan bukan? Alangkah Indahnya jika di atas bus, pete-pete, terminal, bandara, halte, kereta api, dan di tempat-tempat lain sebagainya kita memandang manusia-manusia yang cinta akan ilmu senantiasa membuka lembaran buku dan menyerap ilmunya tanpa harus merasa kaku di tempt tersebut.
mantap, informatif,,ayo membaca....
BalasHapusMenurut pendapat beberapa temanku, dan juga melalui riset pribadi yang aku lakukan beberapa tahun lalu. Seseorang yang ditemukan sedang serius membaca buu di tempat umum, menunjukkan kalau dirinya 'kuper' Dan lebih dianggap 'gaul' kalau mengobrol atau mendengarkan headset. Sepertinya kita memang harus banyak belajar lagi dari budaya Nihon ini. Kaizen!!!!
BalasHapus