Namanya Avrina Priyanka. Parasnya yang mengadobsi jelita cloepatra ini kerap kali mengundang kedipan sebelah mata para lelaki yang melintas di depan rumah kami, terkadang diiringi dengan siulan dan tentu saja dengan bumbu senyuman manis mereka. setidaknya hal itu bisa membuat Avrina tersenyum.
Sepanjang hari dihabiskannya di teras rumah ditemani buku diary dan sebatang pulpen,. Hampir tiap bulan diarynya berganti karena saking seringnya dia isi dengan luapan hati dan pikirannya. Entah apa yang selalu iya tulis, aku tak pernah berani menanyakannya karna aku tahu itu pasti sangat pribadi.
Usianya sama denganku, 18 tahun. Sayang sekali dia tak pernah mengecap bangku sekolah formal. Ibunya meninggal sejak dia dilahirkan. Sedangkan ayahnya meninggal karna kecelakaan saat ibunya masih mengandung dirinya. Avrina terlahir premature. Kedua kakinya bengkok dan sangat kurus. Kedua tangannya pun demikian. Namun tangannya lebih bisa bergerak bebas dibandingkan kakinya, sehingga iya harus selalu duduk di atas roda. Pernah suatu ketika ibuku memasukkannya ke sekolah khusus untuk anak cacat, tapi ibu kasian dengannya jika harus meninggalkannya di sana. Untuk mengantar dan menjemputpun ibu tak ada waktu, pekerjaannya menyita waktunya kadang sampai larut malam. Karna itu ibu memanggil terapis untuk Avrina. Dan akhirnya Avrina bisa menulis dengan baik. Hanya saja avrina bosan dengan terapi itu, karna menurutnya tak mungkin cacatnya disembuhkan, kedua kakinya tak mungkin diluruskan kembali.
Sejak tangan kanannya mahir menulis, kira-kira usia 15 tahun, ia sering sekali menghabiskan waktunya ditemani dengan diary dan pulpennya. Aku salut dengannya, dia bahkan sering menuliskan puisi untukku dikala gundah, membuat lelucon untukku, bahkan menuliskan cerpen tentang kisah-kisahku. Itulah yang membuatku sangat akrab dengannya, dan sudah seperti saudara kembarku, meskipun usiaku lebih tua 4 bulan darinya. Lagi pula aku tak punya saudara.
Yang aku salut darinya, dia tak pernah mengeluh dengan keadaannya yang sekarang meskipun jauh di dalam hatinya, aku tahu dia juga ingin kuliah dan mendapatkan banyak teman. Pernah suatu ketika aku bertanya padanya, “seandainya kamu kuliah, kamu mau kuliah di bidang apa, Rin?”
“Sastra dong. Tapi itu ngga mungkin kan”
Aku tahu dia punya semangat sastra yang kuat, kepandaiannya merangkai kata terkadang membuatku lupa kalau dia hanyalah seorang gadis yang sepanjang harinya ia habiskan di atas sebuah kursi roda.
**
langkahku kian rapuh,,
suaraku semakin lemah,,
sayapku semakin menipis,,
jiwaku bahkan tak tau kemana,,
aku tak mampu lagi terbang,,
senja bahkan tak mampu kukenali,,
surya elok tak lagi bisa kunikmati..
aku rapuh,,,
sangat rapuh,,,
tapi dengan kerapuhanku,
aku merasa dekat dengannya
suaraku semakin lemah,,
sayapku semakin menipis,,
jiwaku bahkan tak tau kemana,,
aku tak mampu lagi terbang,,
senja bahkan tak mampu kukenali,,
surya elok tak lagi bisa kunikmati..
aku rapuh,,,
sangat rapuh,,,
tapi dengan kerapuhanku,
aku merasa dekat dengannya
Tanpa sengaja aku melihat puisi itu di balik sampul diary Avrina. Segera kututup dan kubawakan untuknya.
“Nih diary kamu, kalo nyimpan diary tuh kamu ingat-ingat. Jangan di simpan sembarangan, aku temuin di bawah meja kamu.” Kataku sambil menyodorkan diary miliknya.
“ya maaf, jatuh kali. Semalam aku simpan di meja ko’. Tukasnya seraya menyambar diary itu dari tanganku.
“Ayo berangkat.”Katanya lagi setelah memaksa bibir manyunnya tersenyum.
“lets go!” serangku dan mulai mendorong kursi rodanya.
Dua hari yang lalu aku memang sudah janji untuk membawanya ke danau menikmati udara sore di hari minggu ini. Letaknya tidak jauh dari rumah kami, mungkin sekitar dua ratus meter. Sepanjang perjalanan ia tampak sangat menikmati atmosfer sore yang mengepak-ngepakkan syal yang dibalut dilehernya. Terdengar sayup dia mendendangkan lagu yang tak jelas syairnya. Dalam hati aku tertawa mendengarkan Avrina bernyanyi. Tapi aku tak menegurnya, kubiarkan dia menikmatinya.
“sepertinya putri Avrina senang skali, apakah gerangan yang membuatnya demikian. Apakah seorang pangeran memakaikan cincin ke jari manisnya.” Tanyaku meledek dengan bahasaku yang paling puitis.”
“aku memang bahagia, putri Avrini.” Begitulah ia memanggil namaku, katanya agar terkesan kembar. “sungguh kau tak tahu mengapa?”
“iya putri Avrina, aku tak tahu, maukah kau membagi kebahagiaanmu padaku?” kataku lagi sambil mencari posisi terbaik di tepi danau.
“tentu saja putri, kau adalah saudaraku. Tapi alangkah baiknya jika kita mencari tempat yang nyaman dulu.di sana.” Telunjuknya mengarah ke sebuah pohon rindang.
“sekarang certain dong apa yang bikin kamu bahagia hari ini.” Pintaku tanpa berpuitis lagi.
“kamu pasti lupa kalo besok ulang tahunku” Bibir Avrina manyun lagi.
“ya ampun. Iya aku lupa.”kutepuk keningku, sebenarnya aku hanya pura-pura lupa.
“baiklah akan kuberikan kado yang sangat indah buat saudaraku yang paling cantik ini.” Tambahku
Semuanya kembali hening, pikiranku kemudian melayang pada puisi Avrina di diarynya tadi. Mungkinkah senyumnya selama ini hanya sekedar hiasan di bibirnya. Mungkinkah ia tersenyum agar orang-orang di sekitarnya bahagia? Mungkin ia masih terbebani dengan keadaannya yang seperti ini, mungkin iya merasa merepotkan orang disekitarnya dengan keadaannya yang tak kunjung beranjak dari kursi roda. Tapi aku janji aku akan membuat saudaraku ini tersenyum puas akan dirinya sendiri.
**
Seusai kuliah aku langsung pulang dan membawa senyum puas untuk Avrina. Aku belum sempat mengucapkan selamat ulang tahun untuknya. tadi saat ke kampus avrina masih tidur.
Kusodorkan amplop putih dan map berwarna merah pada Avrina seraya mengucapkan selamat ulang tahun untuknya.
“apa ini?” tanyanya penasaran
“buka aja”
*SELAMAT. ANDA ADALAH PEMENANG LOMBA MENULIS CERPEN OLEH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS AIRLANGGA*
Avrina bingung. Seperti sedang berusaha untuk mengingat sesuatu, mungkin ia berfikir kapan ia pernah mengirimkan karyanya dalam lomba.
“udah ngga usah bingung, kamu ingat ngga, kamu sering buatin cerpen dan puisi buat aku? Sebulan yang lalu aku bingung mau ngasih kamu kado apa buat ulang tahun kamu. Ngga sengaja aku liat pengumuman lomba di salah satu mading di kampus aku. Nah kebetulan, pengumuman pemenangnya sehari sebelum ulang tahun kamu. Nah aku ingat cerpen yang udah kamu kasih ke aku. Ya udah aku kirim deh. Soalnya aku yakin seyakin yakinnya kamu bakal jadi juara, cerpen kamu keren banget sih.lagian kamu juga pernah bilang kan impian terbesar kamu itu adalah menjadi seorang penulis, tapi toh kamu ngga pernah mau ngirim tulisan kamu ke media ataupun dalam lomba.”
“jadi kemarin kamu ngga lupa ulang tahunku?”
“ya ngga lah, wong kemarin pengumumannya udah ada ko’, jadi aku ngga repot lagi buat nyariin kamu kado.” Kataku sambil menyodorkan sertifikat pemenang dari map merah tadi.
“makasih ya, ini benar-benar kado terindah buat aku.” Katanya sambil meneteskan air mata. Aku memeluk sahabat sekaligus saudaraku itu.
**
Sejak ulang tahunnya itu, Avrina semakin semangat untuk menulis. Aku yakin dia adalah calon penulis yang sangat hebat. Sudah banyak Koran dan majalah yang menerbitkan karyanya. Bahkan hari ini ia menerima sebuah email dari sebuah percetakan buku. Isinya dia diminta untuk menerbitkan karya-karyanya dalam sebuah buku. Kalau dikumpulkan, mungkin karya Avrina sudah bisa dijadikan beberapa buku.
Tapi ia masih belum yakin untuk tawaran itu. banyak hal yang ia pertimbangkan.
“apa lagi yang kamu tunggu? Toh ini adalah impian kamu.” Tanyaku penasaran
“kamu lihat kan keadaan aku. Gimana kalo misalnya ada jumpa pers atau mungkin diminta untuk bawain materi seputar buku aku. gimana? Aku ini cacat. Aku ngga mungkin tampil dimuka umum. Aku malu.
Aku hanya bisa diam mendengar penuturan saudaraku ini.
“seandainya aku ini normal, aku ngga bakalan mikir lama.”katanya seraya menundukkan kepalanya. Terlihat parasnya diliputi kekecewaan akan keadaannya sendiri.
“Aku ada ide.” Diam sejenak dan melanjutkannya kembali, “bagaimana kalau itu namaku, dan kalau misalnya ada jumpa pers, atau wawancara biasa dan sebagainya, kamu aja, tapi tetap pakai nama aku. Aku rela ko’. ;Lagi pula aku mau karyaku dibaca orang, bukan agar aku dilihat orang. Aku mohon kamu mau ya.”
“kamu gila ya? Mana mungkin aku jadi kamu. Aku ini ngga punya bakat sastra. Kan ngga mungkin aku mau dimintai menjadi pemateri dan sebagainya.”
“itu sih gampang. Nanti aku ajarin kamu deh, menulis itu asyik ko’. Yang jelas kamu suka dulu. Aku janji suatu saat nanti kamu juga bisa seperti aku.
“kalo teman-temanku nanya, gimana dong? Masa aku pakai nama Avrina Priyanka/”
“ya bilang aja, Avrina Priyanka itu, nama pena kamu.
Aku semakin tak habis pikir dengan Avrina, mana mungkin seorang Revina Silvia jadi Avrina Priyanka. Aku memang sudah sering memakai nama yang hampir sama dengannya, tapi itu hanya di lingkungan rumahku, sebagai pemeran saudara kembarnya seandainya dunia ini adalah panggung sandiwara.
“baiklah, tapi kamu janji ya, kamu harus ngajarin aku menjadi penyair dan penulis handal.” Pintaku seolah Avrina sudah enjadi penuulis handal.
“okkeh saudaraku sayang”
**
Sudah 3 bulan aku menjalani kursus kilat bersama saudara sekaligus sahabat kursi rodaku. Dua jenis buku yang beredar di toko-toko tertulis namanya namun terpamang fotoku di sampul belakangnya. Aku malah merasa bersalah. Aku merasa merebut haknya. Namun di bukunya yang ketiga berisi kumpulan cerpen kolaborasi karyaku dan juga karyanya. Sebuah kebanggaan bagiku karna sudah berhasil menulis beberapa cerpen dan membukukannya, dan tentu saja itu berkat Avrina.
. Semakin lama aku semakin suka menulis. Aku jatuh cinta dengan aktivitas yang satu ini. Hingga suatu ketika, ada panggilan darri salah satu organisasi kepenulisan di kampusku yang memintaku membawakan materi tentang menulis fiksi. Tentu saja aku menghadiri undangan itu karna Avrina memaksaku.
Walhasil, aku benar-benar sukses menjadi pemateri. Tak ada lagi beban untuk menjadi seorang Avrina Priyanka. Tak sabar rasanya menyampaikan berita gembira ini pada saudara kursi rodaku.
Tiba-tiba handphoneku bergetar. Segera kuangkat dan “halo Vin, kamu ke rumah sakit sayang, Avrina lagi di UGD.”
“Masya Allah, mama di mana?”
“Mama di jalan mau ke rumah sakit juga, tadi bi Sum yang telpon mama.’
“iya, ma aku kesana”
“Rumah Sakit Cahaya Rajuna ya, nak”
“iya, ma.” Segera kumatikan teleponku dan segera ke rumah sakit.
Aku tak menyangka kabar bahagia yang sudah kusiapkan untuk Avrina sirna begitu saja ketika kutemui ia terbaring beku. Tangisku pecah, aku tak menyangka Avrina sudah tiada. Aku malah belum sempat membagi kebahagiaanku hari ini. Bukankah kesuksesanku hari ini adalah kesuksesannya juga.
Kini aku benar-benar telah menjadi Avrina Priyanka. Tak kan kusia-siakan kepercayaan sahabat kursi rodaku. Selamat jalan penyairku, selamat jalan sahabatku.
**
“Alhamdulillah kelar juga akhirnya”
Tiga jam aku habiskan di depan layar komputerku hanya untuk menyelesaikan cerpen ini. Yah, ini aku Revina Silvia. Tak ada Avrina Priyanka, tak ada kursi roda.
Jika tidak keberatan cerpen ini akan kami muat di edisi ke dua Majalah Sastra Lentera yang berkedudukan di Pangkep. Naskah ini bisa anda kirimkan di: redaksi.lenterapress@yahoo.com. sertakan nama,bio data, nomor kontak (Hp) dan nomor rekening (akan kami beri imbalan yang pantas),,trims,,
BalasHapus