Gita
gadis periang yang tomboy, selalu bangga pada Mas Gagah, abang yang menurutnya
nyaris sempurna. Gagah baik, tampan, cerdas dan modern. Sejak Papa meninggal,
Gagah sembari kuliah, membantu Mama jadi tulang punggung keluarga. Untuk
penelitian skripsinya, Gagah pergi ke Ternate, tetapi setelah Gagah pulang dari
Ternate, Gita terkejut karena abangnya itu berubah sama sekali! Gagah sangat
bersemangat menjalankan ajaran Islam, dan kerap menasihati Gita untuk menjalankan
perintah-perintah agama. Gita mulai “memusuhi” Gagah. Meski dimusuhi Gita,
Gagah pantang menyerah. Ia terus berusaha mendekati Gita dan Mama, mengajak dua
orang yang ia cintai itu untuk lebih mengenal Islam. “Islam itu indah. Islam
itu cinta,” adalah hal yang selalu disampaikan Gagah pada Gita.
Pertama kali membaca buku Ketika Mas Gagah Pergi (KMGP), seolah saya membayangkan kedua
kakak beradik itu adalah diri saya sendiri dan kakak saya. Pada satu kondisi
ini saya merasa menjadi sangat dekat dengan cerita KMGP. Wajar jika saya
menitikkan air mata pada beberapa bagian saat membaca bukunya.
Hingga pada akhirnya cerita KMGP berwujud film, tak
mau ketinggalan saya menonton di hari pertama pemutaran. Mesti dong saya menonton film yang konon ceritanya sudah beberapa kali
ditawari untuk difilmkan oleh beberapa production
house, namun sang penulis menolak. Mengapa penulis menolak? Sebab alasan
idealisme.
Karakter Gagah yang digambarkan di dalam buku memang
adalah sosok yang baik, cerdas,
dan teladan. Sang penulis, Helvy
Tiana Rosa (selanjutnya disingkat HTR) tidak ingin keteladanan Gagah hanya sekedar
dalam buku dan film saja, namun juga dalam kehidupan nyata. Hal ini membuat saya penasaran dengan sosok Hamas.
Setelah mencari
informasi, rupanya
sosok Hamas Syahid Izzuddin adalah seorang penghafal alquran dan
mencintai dakwah, wajar saja HTR memilih sosok Hamas
untuk memerankan tokoh Gagah.