Wajahnya merah padam, mungkin sebentar lagi meledak. Pandangannya begitu tajam ke arah pria yang tengah menundukkan pandangannya itu.
“Keluar dari ruangan saya, kamu sudah berani memancing emosi saya.”
Dilemparkannya sejumlah kertas beserta map merah ke arah pria itu. Di Bagian depan map bertuliskan namanya. Praditya Mahardika. Seorang Mahasiswa Kehutanan di universitas kecil ini. Universitas Kecil, tapi lumayan besar songongnya orang-orang di dalamnya. Ia tak habis pikir universitas sekecil ini saja, kebobrokannya luar biasa, bagaimana dengan universitas yang jauh lebih besar di luar sana. Selama menginjakkan kaki di kampus kecil ini, belum pernah satupun ia menemukan seorang birokrat kampus dengan sesungging senyumnya. Sombongnya minta ampun. Jangankan tersenyum, menjawab pertanyaan mahasiswa pun tak pernah ramah. Apa memang ada pelatihan kepribadian antagonis untuk setiap birokrat di kampus ini? Begitu pikirnya tiap kali bertatap muka dengan birokrat-birokrat kampusnya.
Mahardika memang salah seorang aktivis kampus. Banyaknya kegiatan yang telah dilaluinya selama dua tahun menjadikannya kebal dengan ocehan-ocehan dan ketidakramahan mereka. tapi kali hatinya benar-benar teriris, tak pernah sekalipun seseorang memperlakukannya serendah apa yang dilakukan ibu berjilbab yang ada di depannya detik ini. Lembaran-lembaran kertas ini menjadi bagian dari sejarah kehidupannya. Seandainya bukan karena orang tuanya, ia tak akan pernah mengemis pada wanita berjilbab nan sombong ini.