Selasa, 13 Mei 2014

Kawanku, sayangku.

Kawanku,
lekas buka matamu.
Ulurkan jemarimu, Kita menari.
Meniup kabut yang disuguhkan langit.
Lebarkan pandang, bentangkan senyum.
Sapa senja di kaki laut.

Sayangku,
Kembangkan kepakmu.
Pandu kaki ke istana langit,
dendangkan kicaumu.
Biarkan beburung mencibir.
Kabarkan padanya, ihwal persangkaan kita pada bumi.
Kabarkan pula ihwal kekariban kita.
Biarlah segala penghuni awan mencemburui kita.
Bicarakan kerisauan kita pada simpang.

Ah, Saudariku,
Usah kau hitung detik bersisa,
Kelak, Jejak akan mengantarkan kita
pada rindu yang tertinggal.
Mari saling berkasih lewat pusaran doa pada Ilahi.
Jika nanti kepak tak membawa kita pada sua,
Biar doa titiannya.
Untuk Sahabat-Nenni Asriani

Senin, 12 Mei 2014

Kisah Basah Langit Semalam


Anyir kukecupi pagi.
Napasnya basah.
Sebab semalam langit berkisah air.
Sedari hari oranye kemarin, bintang lengah pada tugas.
Ah, kota mana lagi sedang berenang.

Dari mana datangnya dingin?
Sudah, Jangan berkilah,
Tentu saja ia bayi dari kisah langit semalam.
Hirup kembali napas pagi.
Berbahagialah, hujan bersisa satu.
Ia berkekasih pada dingin.
Jangan lagi menarik selimut.

Buka berita pagi ini.
Lihat!
Saudara kita berlomba mematung di kepala lemari.
Meminta air lekas henti menggenangi ruang tamu.
Lekas lipat selimutmu.

Minggu, 11 Mei 2014

Tuan, Kemarilah!

Tuan, kemarilah.
Duduklah bersamaku.
Hendak kututurkan risauku.
Setelah itu, izinkan mata membuka puisi pada jiwa yang lain.
Berbubuh materai dan tanda tanganmu.

Sejak lepas tatapmu pada bunga berpadu merah muda dan putih
yang katamu indah,
kau puja ia dengan sanjungan.
Petik dan tanam kembali.
Lalu kau menjadi tuan.
Ia kau puja, pun ia memuja dikau.
Aku si merah muda.
Masih hidup dalam puisimu.
Putih, katamu ia telah gugur.

Lalu, kuputuskan aku kelana.
Ingin dikau kubuat mati.
Bukit, padang pasir, aliran air yang panjang,
langit, padang rumput, samudera, belantara,
kujajaki demi mencari puisiku yang kusangka bukan kau.
Entah pada jejak mana kau alpa.
Kau ada pada seluruh pijakan.
Bumi menertawaiku sesungguhnya.
Ia pikir aku lampau layu.
Ia tahu kau satu-satunya musimku.

Tuan, kemarilah.
Katakan pada sajak mana harus kuhentikan puja padamu.
Sebab jika kau mati, puisiku mati.

Tuan, datanglah.
Genggam dan serahkan hati merah menyalah padaku.
Sebab kau tahu, hanya kau puisiku.
Hanya hatimu yg kudapati merah menyalah
menemani kuncup merahku yang redup,
sebab kaulah jiwa puisiku.

Tuan, kemarilah.
Bubuhkan tanda tangan pada materai merah mudaku.

Sabtu, 10 Mei 2014

Seperti Kebanyakan Malam

Seperti kebanyakan malam,
Kau, aku duduk bersila,
Bertutur perihal yang sudah,
Kau tentangmu,
Aku tentangku.
Juga perihal angan yang muskil.
Siapa peduli.
Angan itu tak pernah berbatas,
Begitu katamu. Ku iyakan.

Seperti kebanyakan malam,
Kau datang berbekal pagi.
Bekal janji menggurat senyum di bibir.
Katamu, kau adalah senyumku.
Pandai nian retorikamu.
Ah, siapa peduli.
Yang kutahu, malam ini dan malam kebanyakan,
Kau mahir buatku tersenyum.

Seperti kebanyakan malam,
Kidung terlahir,
Malam berakhir,
Sesungguhnya tak benar-benar berakhir,
Kita beranjak membubar sila,
Kemudian menunggu gelap kembali.

Sekali kuulang ketakutanku akan gelap,
Kau mengangguk sebelum kekata kuhabiskan.
Untuk itu kau di sini, katamu.

Dan pada setiap malam berakhir,
Selalu kubisik pada gelap, “andai tak ada ujung malam”.


Bukankah angan tak pernah berbatas?